Jumat, 05 November 2010

Perundang-Undangan Penyakit Rabies

TUGAS PERUNDANG-UNDANGAN KEB. & PEMB. PETERNAKAN

“ PENYAKIT RABIES ”

Jurusan/Program Studi Peternakan











Oleh :
Agung Wicaksono H 0507014
Muji Sumiyati H 0507054
Yuli Wulandari H 0508018


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PENDAHULUAN

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan menular rabies terutama anjing, kucing dan kera. Sampai kini hanya 5 Propinsi di Indonesia bebas historis rabies, yaitu Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Irian Jaya. Sejak tahun 1994 propinsi yang tadinya endemis rabies, telah dibebaskan dari rabies pada manusia pada hewan yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sampai saat ini ada 18 propinsi yang belum bebas kasus rabies. Pada tahun 1998 terjadi outbreak di Kab. Flores Timur, Prop. NTT. Jumlah rata-rata per tahun kasus gigitan pada manusia oleh hewan penular rabies (1995-1997) 15.000 kasus, diantaranya 8.550 (57 %) divaksinasi anti rabies (VAR) dan 662 (1,5%) diberikan kombinasi VAR dan SAR (serum anti rabies). Selama tiga tahun ( 1995 - 1997). Ditemukan rata-rata pertahun 59 kasus rabies pada manusia, sedangkan 22,44 spesimen dari hewan yang diperiksa, 1327 (59%) menunjukkan positif rabies.
Mengingat akan adanya bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya yang selalu diakhiri dengan kematian, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan seintensif mungkin, bahkan menuju pada program pembebasan. Program pembebasan rabies merupakan kesepakatan Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Ditjen Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen Kesehatan (Ditjen PPM & PLP), sejak awal Pelita V 1989 hingga diperpanjang sampai dengan tahun 2005.






PEMBAHASAN

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan kera. Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis atau penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Penyakit ini disebabkan oleh Rabdhovirus dan ditularkan melalui gigitan hewan pembawa dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia serta mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang berujung pada kematian.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan dan kadang melalui jilatan. Virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembangbiak. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.
Banyak hewan yang bisa menularkan rabies kepada manusia. Yang paling sering menjadi sumber dari rabies adalah anjing; hewan lainnya yang juga bisa menjadi sumber penularan rabies adalah kucing, kelelawar, rakun, sigung, dan rubah. Rabies pada anjing masih sering ditemukan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, karena tidak semua hewan peliharaan mendapatkan vaksinasi untuk penyakit ini. Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas atau rabies jinak. Pada rabies buas, hewan yang terkena tampak gelisah dan ganas, kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak, sejak awal telah terjadi kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total.

1. GEJALA
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Masa inkubasi biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada kepala, tempat yang tertutup celana pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak tempat.
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar. Telah dilaporkan 2 kasus yang terjadi pada penjelajah yang menghirup udara di dalam goa yang terdapat banyak kelelawar. Orang atau hewan tergigit menjadi sakit setelah 7 hari sampai bulanan/tahunan (rata-rata 14-90 hari) tergantung pada tempat gigitan, kedalaman luka, galur virus dan kondisi tubuh. Pada anjing, virus sudah dikeluarkan pada air liur bahkan sebelum gejala klinis kelihatan. Gejala awal rabies pada anjing sering tidak jelas diantaranya adalah perubahan tingkah laku hewan dari jinak menjadi galak, mengembara hingga puluhan Km, dari galak menjadi jinak. Gejala rabies yang sebenarnya: galak, agresif (mengejar segala benda/orang yang bergerak), menggigit dan menelan segala macam barang (seperti batu, kayu, bungkus rokok, dll), air ludah mengalir, meraung-raung, leher dan rahang lumpuh, ekor “menggantung”, kejang-kejang, mati.
Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebankan rasa sakit luar biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum. Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air).
2. GEJALA KLINIS
a. Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi. Kontraksi otot-otot Faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan udara kemuka penderita atau dengan menjatuhkan sinar kemata atau dengan menepuk tangan didekat telinga penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa da tahikardi. Tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-saat responsif. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
d. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
3. DIAGNOSA
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Immunofluoresensi (tes antibodi fluoresensi) yang dilakukan terhadap hewan tersebut. Tes tersebut dapat menunjukkan bahwa hewan tersebut menderita rabies.
Biopsi kulit, pemeriksaan kulit leher dengan cara diperiksa dengan mikroskop, biasanya dapat menunjukkan adanya virus. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.
Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringannya, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya.
4. PENCEGAHAN
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
a. Dokter hewan.
b. Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.
c. Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan
d. Para penjelajah gua kelelawar.
Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.
Hal yang dapat menekan penyebaran rabies di Bali adalah masyarakat tidak melepasliarkan anjing peliharaannya, misalnya dengan cara dirantai atau dikandangkan. Perlu diperbanyak penyampaian informasi kepada masyarakat tentang penyakit rabies, mulai dari apa itu penyakit rabies, gejala-gejala yang tampak, bahaya dan cara pencegahannya serta pertolongan pertama jika tergigit anjing. Serta sosialisasi tentang pelarangan memasukkan hewan penyebar rabies ke Bali sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali No. 80/2008 kepada masyarakat.
5. PENGOBATAN
a. Penanganan Luka Gigitan Hewan Menular Rabies
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti di atas.
Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.
b. Pengobatan Pada Rabies
a) Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies.
b) Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan.
c) Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi.
d) Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).
e) Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan gejala-gejala rabies.
6. PERAN PEMERINTAH
Kebijakan dalam menangani penyebaran penyakit rabies di Indonesia diantaranya tertera pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 1637.1/Kpts/Pd.640/12/2008 Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) Di Kabupaten Badung Provinsi Bali.
Isi dari keputusan ini diantaranya adalah :
a. Menyatakan berjangkitnya wabah penyakit anjing gila (rabies) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali .
b. Menyatakan kabupaten/kota lain dalam wilayah Provinsi Bali merupakan daerah bebas terancam wabah penyakit anjing gila (rabies). Dari hasil pemeriksaan PCR (Polimerase Chain Reaction), FAT (Fluorescence Antibody Test), dan IHK (Imunohistokimia), Bali dinyatakan positif sebagai daerah tertular rabies. Menindaklanjuti hasil penelitian tersebut, pemerintah melalui Peraturan Mentri Pertanian No. 1637/2008 menyatakan Bali sebagai daerah wabah rabies. Hal ini juga ditindaklanjuti oleh Gubernur Bali dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali No. 80/2008 tentang penutupan sementara pemasukan atau pengeluaran anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya dari dan ke provinsi Bali per 1 Desember 2008.
c. Pada daerah tertular dilakukan tindakan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit anjing gila (rabies) secara terkoordinasi dengan instansi terkait yang kompeten dibidangnya sesuai Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 279A/Men.Kes/SK/VIII/1978; Nomor 522/Kpts/UM/8/78;Nomor 143 Tahun 1978 serta teknis pelaksanaanya.
Selain itu, dalam Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga menyebutkan mengenai Kebijakan Pemerintah yaitu tercantum pada Bab V tentang Kesehatan Hewan, Pasal 39 – 54. Dan juga terdapat pada Bab VI mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner, yaitu Pasal 56 – 65.





PENUTUP

Dari hasil pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai penyakit rabies yang terjadi di Indonesia, diantaranya :
a) Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis atau penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia ataupun sebaliknya dan disebabkan oleh Rabdhovirus dan ditularkan melalui gigitan hewan pembawa dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia serta mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang berujung pada kematian.
b) Gejala penyakit ini biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun.
c) Terdapat 4 Stadium pada kejadian penyakit Rabies, yaitu : Stadium Prodromal, Stadium Sensoris, Stadium Eksitasi, Stadium Paralis.
d) Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus.
e) Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler.
f) Terdapat beberapa Ketetapan Pemerintah dalam menangani penyebaran penyakit rabies di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010 . http://www.kaskus. com. Diakses pada tanggal 2 September 2010
.2010. http://id.ekads.net/kembalikan-baliku-bebas-rabies. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2010/08/27/brk,20100827-274388,id.html. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.vet-klinik.com/Pets-Animals/Penyakit-rabies.com. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.sigapbencana-bansos.info/berita/497-kadistan-ditemukan-28-kasus-rabies-di-pekanbaru.html. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://lawan.us/search/kabar terbaru rabies. com. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.penanggulangan rabies. com. Diakses pada tanggal 2 September 2010.

Karkas dan Daging

TUGAS ILMU TEKNOLOGI DAN PENGOLAHAN DAGING

KARKAS DAN DAGING SETELAH PEMOTONGAN

Jurusan/Program Studi Peternakan











Oleh:
Muji Sumiyati H0507054






FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).
Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging setelah melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutkan dengan proses aging untuk memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak.
Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk dan dilanjutkan dengan proses pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan memberikan kualitas yang lebih baik dibanding pada saat prarigor.
Aging merupakan proses alami yang biasanya memperbaiki keempukan pada kondisi pendinginan. Enzim alami seperti calpain dan cathepsin akan memecahkan protein spesifik otot menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan akibatnya daging menjadi empuk terutama daerah loin dan rib.
Jika aging pascamerta besar peranannya terhadap perubahan-perubahan protein miofibriler, maka pada protein jaringan ikat (kolagen) hampir tak berarti.
Ada perubahan solubilitas dan ikatan silang kolagen (peningkatan thermolabil) dan yang lainnya menyatakan tidak ada perubahan pada jaringan ikat intramuskuler selama maturasi
Effektivitas maturasi, dari segi ekonomi dapat dipertimbangkan untuk menurunkan lama maturasi dari 7-10 hari menjadi 2-6 hari.


RIGOR MORTIS
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bisa bervariasi karena jenis ternak, individu ternak dan jenis serat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (di atas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.

PERUBAHAN FISIK PADA PROSES RIGOR MORTIS
Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.

PERUBAHAN KARAKTER FISIKOKIMIA
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI WAKTU TERBENTUKNYA RIGOR MORTIS
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
1. Spesies; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15°C.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.

1. Maturasi (aging) Pada Daging
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2 – 5°C) setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.
Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2º C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi 7 - 8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut.
Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.
Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti berikut:
a. Pada suhu + 1º C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952).
b. Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 % dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)
c. Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4º C sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari (Moran dan Smith (1929)
d. Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan tradisional) : peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging dimana 8,90 % diantaranya diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995)
e. Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan sapi penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)
f. Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler meningkat.
g. Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen intramuskuler juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen tersolubilisasi. Peningkatan ikatan silang termolabil dari kolagen epimisial dan kolagen intramuskuler selama 21 hari maturasi (Pfeiffer dkk, 1972).
Jenis Aging
Ada dua jenis aging pada karkas/daging
a. dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 0–1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det, selama 21 – 28 hari
b. wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu 0-1,11°C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup (wet aging).
Faktor Pembatas Aging
a. Kelembaban; kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
b. Suhu; pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
c. Kecepatan udara; pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan
Efektivitas Aging
a. Waktu dan tingkat kecepatan aging merupakan variable-variable pascamerta yang mempengaruhi keempukan daging
b. Tingkat kecepatan aging; beberapa karkas atau potongan-potongannya mengalami pengempukan sangat cepat sedang yang lainnya pengempukannya terjadi secara perlahan
c. Waktu aging; pada otot dengan jaringan ikat yang sedang sampai tinggi pada umumnya tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup dimana frgagmentasi jaringan ikat tidak cukup selama aging
d. Survey National Beef Tenderness 1991 memperlihatkan bahwa maturasi daging sapi 3 – 90 hari, rata-rata 17 hari sebelum dijual eceran. Melebihi 28 hari, nilai tambahnya sedikit terhadap perbaikan palatabilitas dan mungkin merusak ditandai dengan pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dan perubahan flavor
e. Tenderloin; merupakan otot yang paling empuk sehingga waktu yang diperlukan untuk aging tidak terlalu lama.
f. Loin; merupakan otot relative empuk dimana fragmentasi miofibriler tinggi, jumlah jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye of the round (semitendinosus0 yang merupakan otot kurang empuk dimana fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen) yang lebih banyak.
g. Shank dan chuck; merupakan otot dengan keempukannya dapat diterima konsumen melalui penggilingan menjadi daging cincang. Namun demikian perbaikan besar dalam keempukan dicapai melalui metoda pemasakan yang tepat daripada melalui aging.
h. Sekalipun aging berpengaruh terhadap perbaikan palatabilitas (khususnya keempukan), namun demikian pemuliabiakan, pemberian pakan, pengolahan dan persiapan, semuanya berperan penting dalam pemenuhan akhir dari kesukaan konsumen.
i. Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging adalah pertimbangan ekonomi. Maturasi pada daging sapi membutuhkan ruangan penyimpanan pendinginan, yang mana membutuhkan biaya untuk pengadaan dan pemeliharaan ruangan tsb.
j. Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya yang lebih mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara mulai melakukan aging yang tidak terlalu lama 2-6 hari pascamerta.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3. Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan berat
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.

KARAKTERISTIK KUALITAS DAGING
Karakteristik kualitas daging dijelaskan melalui persepsi manusia dalam menilai kualitas berdasarkan organ panca indera. Warna, keempukan, flavor, dan citarasa merupakan sifat kualitas daging yang mendapat pertimbangan oleh konsumen. Keempukan merupakan karakter kualitas yang paling utama bagi penilaian konsumen (64 %), bersama dengan kebasahan meningkat menjadi > 80 %. Warna merupakan persepsi awal dari konsumen pada saat pemilihan daging.
Faktor-Faktor Sensorik Yang Berkaitan Dengan Kualitas Daging:
a. Warna Daging
Merupakan sifat kualitas yang penting tidak hanya bagi industri daging tetapi juga bagi konsumen rumah tangga. Bagi industri daging bahwa penampilan fisik daging yang diterima oleh konsumen pada tingkat eceran memberikan tingkat penerimaan yang tinggi (Cross, dkk., 1986). Bagi konsumen persepsi paling awal pada saat akan membeli daging dan menjadi pertimbangan utama adalah warna.
Pigmen prinsipal pada jaringan otot yang berhubungan dengan warna adalah pigmen darah hemoglobin, terutama dalam aliran darah, dan mioglobin yang terdapat dalam sel. Sekitar 20 -30% dari total pigmen yang ada dalam ternak hidup adalah hemoglobin (Fox, 1966). Fungsi biologis dari hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel otot melalui sistem peredaran darah, sedang fungsi mioglobin adalah mengikat oksigen pada dinding sel untuk digunakan pada metabolisme pemecahan secara berurutan dari beberapa metabolit, seperti yang ada pada siklus asam trikarboksilat.
Mioglobin merupakan pigmen utama yang bertanggung jawab untuk warna daging. Ada tiga macam mioglobin yang memberikan warna yang berbeda; pada jaringan otot yang masih hidup, mioglobin dalam bentuk tereduksi dengan warna merah keunguan, mioglobin ini seimbang dengan mioglobin yang mengalami kontak dengan oxigen, oximioglobin yang berwarna merah cerah. Ketika bagian interior daging mengalami kontak dengan oxygen yang berasal dari udara, oxygen akan bergabung dengan heme dari mioglobin untuk menghasilkan oximioglobin. Jadi warna daging berubah dari merah keunguan menjadi merah cerah. Jika oxygen dikeluarkan dari potongan daging, warna akan berubah kembali menjadi merah keunguan sebab pigmen didesoksigenasi kembali menjadi mioglobin (Cross, dkk., 1986).
Reaksi oksigenasi biasanya dapat ditandai pada daging segar < 0,5 jam dan biasanya disebut blooming pada industri daging. Oximioglobin yang merah tetap stabil sepanjang heme tetap teroksigenasi dan besi dalam heme tetap pada status tereduksi (Clydesdale dan Francis, 1971).
Bentuk lain dari mioglobin ditandai adanya oxidasi besi dari heme didalam mioglobin dari bentuk Fe 2+ (ferrous) menjadi Fe 3+ (ferric), disebut sebagai metmioglobin dan berwarna coklat. Metmiglobin adalah pigmen utama penyebab penyimpangan warna daging yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom besi. Nampaknya merupakan pigmen merah kecoklatan yang tidak diinginkan (Gambar 1). Reaksi ini dapat reversible sepanjang ada senyawa pereduksi, seperti NADH (nicotinamide adenine dinucleotide) didalam daging. Ketika kemampuan pereduksi dari otot hilang, namun, warna dari daging tetap coklat sebab atom besi dari heme yang telah teroksidasi tidak dapat direduksi. Namun demikian daging yang demikian masih menyenangkan untuk dikonsumsi setelah dimasak (Cross, dkk., 1986).
Setelah pembentukan metmioglobin, oksidasi lebih lanjut yang merubah mioglobin disebabkan oleh enzim dan bakteri yang akan menghasilkan warna coklat, hijau, dan senyawa –senyawa dengan penampilan memudar.
Beberapa otot pada karkas berubah warnanya lebih cepat daripada yang lain. Ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan mereduksi metmioglobin (metmioglobin reducing ability, MRA) dari sejumlah otot. Beberapa otot mempunyai pereduksi yang berlebih, dimana besi pada heme dari molekul mioglobin dalam status tereduksi untuk suatu periode yang lama, menghasilkan apakah dalam bentuk mioglobin tereduksi atau oximioglobin. Hal ini yang menjelaskan mengapa beberapa potongan daging akan tahan 4 – 5 hari pada lemari pendingin, sementara yang lain akan berubah warna hanya sesudah 1 – 2 hari. Kemampuan mereduksi metmioglobin (MRA) didasarkan atas jumlah glukosa dan enzim pereduksi didalam otot. MRA dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antemortem seperti status nutrisi dan jumlah latihan yang diterima oleh ternak sebelum disembelih.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pigmen daging
Tekanan oksigen yang tinggi adalah karakteristik dari oksimioglobin dan ditemukan pada permukaan daging. Tekanan oksigen yang rendah mengakibatkan pembentukan metmioglobin dan pada akhirnya penampilan daging menjadi coklat.
Reaksi oksidasi mioglobin ungu menjadi metmioglobin coklat disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti suhu tinggi, pH rendah, garam, atmosfer oksigen rendah, bakteri aerobik, daya tembus oksigen yang rendah dari film pembungkus. Faktor-faktor ini penting, bahwa mereka menyebabkan desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil dan penurunan oksigen yang tersedia, yang mana mengakibatkan tekanan oksigen rendah.
Suhu yang tinggi, menyebabkan pembentukan globin yang berfungsi untuk mempertahankan heme menjadi berkurang, akibatnya terjadi desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil. Kemudian mioglobin tereduksi yang tidak stabil tersebut dioksidasi menjadi metmioglobin.
Pada nilai pH <5,4, oksidasi mioglobin akan terjadi. pH yang rendah akan menyebabkan denaturasi terhadap protein globin yang mempertahankan heme dan berikutnya mengakibatkan pelepasan oksigen dari heme demikian juga oksidasi molekul besi. Asam adalah agen oksidasi yang dikenal baik dan oleh karena itu mengoksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Karena pH menurun secara kontinu, maka tingkat oksidasi yang terjadi akan meningkat.
Garam, sebagai agen oksidasi mioglobin, mempunyai dua mekanisme dari pelaksanaan oksidasi. Pertama, garam menurunkan pH pada kondisi buffer daging, jadi oksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Kedua, garam menurunkan pengambilan oksigen, menyebabkan tekanan oksigen yang rendah.
Perubahan warna daging dapat juga dihubungkan dengan kontaminasi bakteri aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisi dimana terjadi. Permintaan oksigen yang tinggi bagi bakteri aerobik pada fase logaritmik dari pertumbuhan mengakibatkan pembentukan metmioglobin, menghasilkan pengaruh terhadap perubahan warna. Peningkatan jumlah bakteri aerobik mengakibatkan permukaaan daging berubah warnanya dari merah oksimioglobin menjadi coklat metmiglobin dan kemudian ke ungu mioglobin tereduksi.
Jenis kemasan yang digunakan juga memegang peranan pada oksidasi dan pertumbuhan bakteri.
Pengurasan glikogen sebelum ternak disembelih akan mengakibatkan perubahan warna daging pada saat mengalami rigor mortis dari warna yang seharusnya merah cerah menjadi merah tua (gelap) disertai dengan struktur otot yang merapat (firm) dan kering, dikenal sebagai dark firm dry (dfd) atau biasa juga disebut sebagai dark cutting beef (dcb) pada ternak sapi atau kerbau. Kelainan ini ditandai dengan pH daging yang masih cukup tinggi pada saat rigor mortis yakni diatas pH > 5.8. Dibedakan tiga tingkatan DCB yakni DCB ringan jika pH 5.8 – 6.0, DCB sedang pH 6.0 – 6.2 dan DCB berat jika pH > 6.2.
Warna daging pascarigor juga bisa berwarna pucat akibat instalasi rigor mortis yang sangat cepat yakni bisa beberapa menit pada daging babi yang diakibtakan karena stress yang sangat berat. Kejadian ini merupakan kebalikan dari DCB dan disebut sebagai PSE (pale, soft, exudative): daging berwarna pucat, mudah terurai (sangat lembek), dan berair; pH < 5.3 (dibawah titik iso elektrik daging)
Stimulasi Listrik pada karkas mengakibatkan warna otot menjadi lebih merah cerah pada bagian yang distimulasi dibandingkan pada daerah yang tidak distimulasi
b. Keempukan Daging
Bagi konsumen, keempukan merupakan satu dari kualitas organopletik yang prinsipal pada daging. Keempukan merupakan komponen utama, sebesar 64 %, dalam penilaian tekstur daging masak, kemudian menyusul kebasahan sebesar 19 % (Dransfield dkk., 1984).
Keempukan daging dapat dinilai berdasarkan metoda langsung dan tidak langsung.
Metoda langsung (penilaian sensorik)
Umumnya digunakan oleh para konsumen, penilaian sensorik kualitas daging, khususnya keempukan, didasarkan atas kemudahan penetrasi gigi pada daging dan usaha-usaha yang dilakukan oleh otot-otot pada daerah geraham selama pengunyahan.
Metoda tidak langsung
Metoda ini didasarkan pada penilaian dengan menggunakan instrumen (mekanik) dan analisis kimia daging. Penilaian instrumen mengimitasi lebih atau kurang pengunyahan dalam bentuk pengguntingan/pengirisan atau pemecahan daging.
Pendekatan kimiawi bertujuan untuk mengkarakterisasi kuantitas dan kualitas komponen muskuler yang terlibat dalam kekerasan muskuler, dimana kolagen merupakan salah satu faktor utama dari keragaman.


Penilaian secara instrumental
Sejumlah alat telah dikembangkan untuk mengestimasi keempukan atau sifat-sifat mekanik daging. Peralatan ini didasarkan atas cara kerja seperti: daya putus (pengguntingan), penetrasi, pencincangan atau kompressi (Asghar dan Pearson, 1980).
Metoda yang paling sering digunakan adalah pengguntingan/pemotongan (shear force) dan kompressi (compression).
Evaluasi kimiawi
Penilaian kimia (kadar) kolagen sebagai komponen utama jaringan ikat mulai dikembangkan pada saat Lehman pada tahun 1907 memperlihatkan hubungan antara kandungan kolagen dari beberapa otot dengan keempukan otot-otot tersebut. Sejumlah penelitian telah memperlihatkan hubungan tidak langsung anatara kandungan kolagen dengan kekerasan pada daging. Pengukuran kadar kolagen dilakukan dengan mengukur asam amino hidroksiprolin dengan beberapa teknik; spectrofotometer, nuclear magnetic resonance, infra red spectrofotometer, metoda histokimia dan immunologie (Bergmann dan Loxley, 1963 ; Jozefowics dkk., 1977 ; O'Neil dkk., 1979 ; Bonnet dan Kopp, 1985 ; Etherington dan Sims, 1981).
Pengukuran tingkat retikulasi kolagen yang sangat ditentukan oleh ikatan-silang dilakukan dengan mengukur solubilitas kolagen dan tegangan isometrik kolagen selama pemanasan. Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat retikulasi kolagen yang erat kaitannya dengan umur ternak memperlihatkan hubungan yang erat dengan kekerasan daging.
c. Flavor (Citarasa)
Citarasa daging, merupakan fenomena yang kompleks berkaitan dengan senyawa-senyawa yang larut dan volatil. Melibatkan organ pencicipan dan penciuman dalam penilaiannya.
Citarasa bervariasi berdasarkan atas : potongan daging dan tingkat infiltrasi lemak (marbling), tingkat perubahan yang terjadi selama maturasi, beberapa karakter zooteknis dan cara penyajian masakan.

d. Kebasahan
Merupakan kemampuan daging untuk melepaskan jus (cairan daging) selama pengunyahan, sebaliknya kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air disebut sebagai water holding capacity (WHC).
Kebasahan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian kualitas daging, bersama dengan keempukan dapat menjelaskan sampai > 80 % pilihan konsumen dinegara maju terhadap kualitas daging. Daging yang empuk pada umumnya pada saat gigitan pertama akan menghasilkan jus yang cukup berarti. Terdapat korelasi yang baik antara pelepasan jus daging dengan keempukan.
Kebasahan bervariasi berdasarkan pH, maturasi dan faktor stress.


DAFTAR PUSTAKA

Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
Effendi, Abustam. 2009. Konversi Otot menjadi Daging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html Diakses pada hari Senin, 1 November 2010.
______________. 2009. Kualitas Daging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html Diakses pada hari Senin, 1 November 2010.