Jumat, 05 November 2010

Perundang-Undangan Penyakit Rabies

TUGAS PERUNDANG-UNDANGAN KEB. & PEMB. PETERNAKAN

“ PENYAKIT RABIES ”

Jurusan/Program Studi Peternakan











Oleh :
Agung Wicaksono H 0507014
Muji Sumiyati H 0507054
Yuli Wulandari H 0508018


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PENDAHULUAN

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan menular rabies terutama anjing, kucing dan kera. Sampai kini hanya 5 Propinsi di Indonesia bebas historis rabies, yaitu Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Irian Jaya. Sejak tahun 1994 propinsi yang tadinya endemis rabies, telah dibebaskan dari rabies pada manusia pada hewan yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sampai saat ini ada 18 propinsi yang belum bebas kasus rabies. Pada tahun 1998 terjadi outbreak di Kab. Flores Timur, Prop. NTT. Jumlah rata-rata per tahun kasus gigitan pada manusia oleh hewan penular rabies (1995-1997) 15.000 kasus, diantaranya 8.550 (57 %) divaksinasi anti rabies (VAR) dan 662 (1,5%) diberikan kombinasi VAR dan SAR (serum anti rabies). Selama tiga tahun ( 1995 - 1997). Ditemukan rata-rata pertahun 59 kasus rabies pada manusia, sedangkan 22,44 spesimen dari hewan yang diperiksa, 1327 (59%) menunjukkan positif rabies.
Mengingat akan adanya bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya yang selalu diakhiri dengan kematian, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan seintensif mungkin, bahkan menuju pada program pembebasan. Program pembebasan rabies merupakan kesepakatan Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Ditjen Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen Kesehatan (Ditjen PPM & PLP), sejak awal Pelita V 1989 hingga diperpanjang sampai dengan tahun 2005.






PEMBAHASAN

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan kera. Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis atau penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Penyakit ini disebabkan oleh Rabdhovirus dan ditularkan melalui gigitan hewan pembawa dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia serta mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang berujung pada kematian.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan dan kadang melalui jilatan. Virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembangbiak. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.
Banyak hewan yang bisa menularkan rabies kepada manusia. Yang paling sering menjadi sumber dari rabies adalah anjing; hewan lainnya yang juga bisa menjadi sumber penularan rabies adalah kucing, kelelawar, rakun, sigung, dan rubah. Rabies pada anjing masih sering ditemukan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, karena tidak semua hewan peliharaan mendapatkan vaksinasi untuk penyakit ini. Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas atau rabies jinak. Pada rabies buas, hewan yang terkena tampak gelisah dan ganas, kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak, sejak awal telah terjadi kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total.

1. GEJALA
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Masa inkubasi biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada kepala, tempat yang tertutup celana pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak tempat.
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar. Telah dilaporkan 2 kasus yang terjadi pada penjelajah yang menghirup udara di dalam goa yang terdapat banyak kelelawar. Orang atau hewan tergigit menjadi sakit setelah 7 hari sampai bulanan/tahunan (rata-rata 14-90 hari) tergantung pada tempat gigitan, kedalaman luka, galur virus dan kondisi tubuh. Pada anjing, virus sudah dikeluarkan pada air liur bahkan sebelum gejala klinis kelihatan. Gejala awal rabies pada anjing sering tidak jelas diantaranya adalah perubahan tingkah laku hewan dari jinak menjadi galak, mengembara hingga puluhan Km, dari galak menjadi jinak. Gejala rabies yang sebenarnya: galak, agresif (mengejar segala benda/orang yang bergerak), menggigit dan menelan segala macam barang (seperti batu, kayu, bungkus rokok, dll), air ludah mengalir, meraung-raung, leher dan rahang lumpuh, ekor “menggantung”, kejang-kejang, mati.
Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebankan rasa sakit luar biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum. Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air).
2. GEJALA KLINIS
a. Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi. Kontraksi otot-otot Faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan udara kemuka penderita atau dengan menjatuhkan sinar kemata atau dengan menepuk tangan didekat telinga penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa da tahikardi. Tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-saat responsif. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
d. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
3. DIAGNOSA
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Immunofluoresensi (tes antibodi fluoresensi) yang dilakukan terhadap hewan tersebut. Tes tersebut dapat menunjukkan bahwa hewan tersebut menderita rabies.
Biopsi kulit, pemeriksaan kulit leher dengan cara diperiksa dengan mikroskop, biasanya dapat menunjukkan adanya virus. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.
Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringannya, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya.
4. PENCEGAHAN
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
a. Dokter hewan.
b. Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.
c. Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan
d. Para penjelajah gua kelelawar.
Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.
Hal yang dapat menekan penyebaran rabies di Bali adalah masyarakat tidak melepasliarkan anjing peliharaannya, misalnya dengan cara dirantai atau dikandangkan. Perlu diperbanyak penyampaian informasi kepada masyarakat tentang penyakit rabies, mulai dari apa itu penyakit rabies, gejala-gejala yang tampak, bahaya dan cara pencegahannya serta pertolongan pertama jika tergigit anjing. Serta sosialisasi tentang pelarangan memasukkan hewan penyebar rabies ke Bali sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali No. 80/2008 kepada masyarakat.
5. PENGOBATAN
a. Penanganan Luka Gigitan Hewan Menular Rabies
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti di atas.
Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.
b. Pengobatan Pada Rabies
a) Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies.
b) Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan.
c) Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi.
d) Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).
e) Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan gejala-gejala rabies.
6. PERAN PEMERINTAH
Kebijakan dalam menangani penyebaran penyakit rabies di Indonesia diantaranya tertera pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 1637.1/Kpts/Pd.640/12/2008 Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) Di Kabupaten Badung Provinsi Bali.
Isi dari keputusan ini diantaranya adalah :
a. Menyatakan berjangkitnya wabah penyakit anjing gila (rabies) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali .
b. Menyatakan kabupaten/kota lain dalam wilayah Provinsi Bali merupakan daerah bebas terancam wabah penyakit anjing gila (rabies). Dari hasil pemeriksaan PCR (Polimerase Chain Reaction), FAT (Fluorescence Antibody Test), dan IHK (Imunohistokimia), Bali dinyatakan positif sebagai daerah tertular rabies. Menindaklanjuti hasil penelitian tersebut, pemerintah melalui Peraturan Mentri Pertanian No. 1637/2008 menyatakan Bali sebagai daerah wabah rabies. Hal ini juga ditindaklanjuti oleh Gubernur Bali dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali No. 80/2008 tentang penutupan sementara pemasukan atau pengeluaran anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya dari dan ke provinsi Bali per 1 Desember 2008.
c. Pada daerah tertular dilakukan tindakan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit anjing gila (rabies) secara terkoordinasi dengan instansi terkait yang kompeten dibidangnya sesuai Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 279A/Men.Kes/SK/VIII/1978; Nomor 522/Kpts/UM/8/78;Nomor 143 Tahun 1978 serta teknis pelaksanaanya.
Selain itu, dalam Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga menyebutkan mengenai Kebijakan Pemerintah yaitu tercantum pada Bab V tentang Kesehatan Hewan, Pasal 39 – 54. Dan juga terdapat pada Bab VI mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner, yaitu Pasal 56 – 65.





PENUTUP

Dari hasil pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai penyakit rabies yang terjadi di Indonesia, diantaranya :
a) Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis atau penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia ataupun sebaliknya dan disebabkan oleh Rabdhovirus dan ditularkan melalui gigitan hewan pembawa dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia serta mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang berujung pada kematian.
b) Gejala penyakit ini biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun.
c) Terdapat 4 Stadium pada kejadian penyakit Rabies, yaitu : Stadium Prodromal, Stadium Sensoris, Stadium Eksitasi, Stadium Paralis.
d) Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus.
e) Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler.
f) Terdapat beberapa Ketetapan Pemerintah dalam menangani penyebaran penyakit rabies di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010 . http://www.kaskus. com. Diakses pada tanggal 2 September 2010
.2010. http://id.ekads.net/kembalikan-baliku-bebas-rabies. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2010/08/27/brk,20100827-274388,id.html. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.vet-klinik.com/Pets-Animals/Penyakit-rabies.com. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.sigapbencana-bansos.info/berita/497-kadistan-ditemukan-28-kasus-rabies-di-pekanbaru.html. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://lawan.us/search/kabar terbaru rabies. com. Diakses pada tanggal 2 September 2010.
.2010. http://www.penanggulangan rabies. com. Diakses pada tanggal 2 September 2010.

Karkas dan Daging

TUGAS ILMU TEKNOLOGI DAN PENGOLAHAN DAGING

KARKAS DAN DAGING SETELAH PEMOTONGAN

Jurusan/Program Studi Peternakan











Oleh:
Muji Sumiyati H0507054






FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).
Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging setelah melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutkan dengan proses aging untuk memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak.
Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk dan dilanjutkan dengan proses pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan memberikan kualitas yang lebih baik dibanding pada saat prarigor.
Aging merupakan proses alami yang biasanya memperbaiki keempukan pada kondisi pendinginan. Enzim alami seperti calpain dan cathepsin akan memecahkan protein spesifik otot menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan akibatnya daging menjadi empuk terutama daerah loin dan rib.
Jika aging pascamerta besar peranannya terhadap perubahan-perubahan protein miofibriler, maka pada protein jaringan ikat (kolagen) hampir tak berarti.
Ada perubahan solubilitas dan ikatan silang kolagen (peningkatan thermolabil) dan yang lainnya menyatakan tidak ada perubahan pada jaringan ikat intramuskuler selama maturasi
Effektivitas maturasi, dari segi ekonomi dapat dipertimbangkan untuk menurunkan lama maturasi dari 7-10 hari menjadi 2-6 hari.


RIGOR MORTIS
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bisa bervariasi karena jenis ternak, individu ternak dan jenis serat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (di atas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.

PERUBAHAN FISIK PADA PROSES RIGOR MORTIS
Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.

PERUBAHAN KARAKTER FISIKOKIMIA
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB VARIASI WAKTU TERBENTUKNYA RIGOR MORTIS
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
1. Spesies; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15°C.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.

1. Maturasi (aging) Pada Daging
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2 – 5°C) setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.
Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2º C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi 7 - 8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut.
Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.
Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti berikut:
a. Pada suhu + 1º C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952).
b. Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 % dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)
c. Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4º C sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari (Moran dan Smith (1929)
d. Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan tradisional) : peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging dimana 8,90 % diantaranya diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995)
e. Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan sapi penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)
f. Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler meningkat.
g. Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen intramuskuler juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen tersolubilisasi. Peningkatan ikatan silang termolabil dari kolagen epimisial dan kolagen intramuskuler selama 21 hari maturasi (Pfeiffer dkk, 1972).
Jenis Aging
Ada dua jenis aging pada karkas/daging
a. dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 0–1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det, selama 21 – 28 hari
b. wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu 0-1,11°C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup (wet aging).
Faktor Pembatas Aging
a. Kelembaban; kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
b. Suhu; pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
c. Kecepatan udara; pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan
Efektivitas Aging
a. Waktu dan tingkat kecepatan aging merupakan variable-variable pascamerta yang mempengaruhi keempukan daging
b. Tingkat kecepatan aging; beberapa karkas atau potongan-potongannya mengalami pengempukan sangat cepat sedang yang lainnya pengempukannya terjadi secara perlahan
c. Waktu aging; pada otot dengan jaringan ikat yang sedang sampai tinggi pada umumnya tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup dimana frgagmentasi jaringan ikat tidak cukup selama aging
d. Survey National Beef Tenderness 1991 memperlihatkan bahwa maturasi daging sapi 3 – 90 hari, rata-rata 17 hari sebelum dijual eceran. Melebihi 28 hari, nilai tambahnya sedikit terhadap perbaikan palatabilitas dan mungkin merusak ditandai dengan pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dan perubahan flavor
e. Tenderloin; merupakan otot yang paling empuk sehingga waktu yang diperlukan untuk aging tidak terlalu lama.
f. Loin; merupakan otot relative empuk dimana fragmentasi miofibriler tinggi, jumlah jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye of the round (semitendinosus0 yang merupakan otot kurang empuk dimana fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen) yang lebih banyak.
g. Shank dan chuck; merupakan otot dengan keempukannya dapat diterima konsumen melalui penggilingan menjadi daging cincang. Namun demikian perbaikan besar dalam keempukan dicapai melalui metoda pemasakan yang tepat daripada melalui aging.
h. Sekalipun aging berpengaruh terhadap perbaikan palatabilitas (khususnya keempukan), namun demikian pemuliabiakan, pemberian pakan, pengolahan dan persiapan, semuanya berperan penting dalam pemenuhan akhir dari kesukaan konsumen.
i. Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging adalah pertimbangan ekonomi. Maturasi pada daging sapi membutuhkan ruangan penyimpanan pendinginan, yang mana membutuhkan biaya untuk pengadaan dan pemeliharaan ruangan tsb.
j. Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya yang lebih mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara mulai melakukan aging yang tidak terlalu lama 2-6 hari pascamerta.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3. Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan berat
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.

KARAKTERISTIK KUALITAS DAGING
Karakteristik kualitas daging dijelaskan melalui persepsi manusia dalam menilai kualitas berdasarkan organ panca indera. Warna, keempukan, flavor, dan citarasa merupakan sifat kualitas daging yang mendapat pertimbangan oleh konsumen. Keempukan merupakan karakter kualitas yang paling utama bagi penilaian konsumen (64 %), bersama dengan kebasahan meningkat menjadi > 80 %. Warna merupakan persepsi awal dari konsumen pada saat pemilihan daging.
Faktor-Faktor Sensorik Yang Berkaitan Dengan Kualitas Daging:
a. Warna Daging
Merupakan sifat kualitas yang penting tidak hanya bagi industri daging tetapi juga bagi konsumen rumah tangga. Bagi industri daging bahwa penampilan fisik daging yang diterima oleh konsumen pada tingkat eceran memberikan tingkat penerimaan yang tinggi (Cross, dkk., 1986). Bagi konsumen persepsi paling awal pada saat akan membeli daging dan menjadi pertimbangan utama adalah warna.
Pigmen prinsipal pada jaringan otot yang berhubungan dengan warna adalah pigmen darah hemoglobin, terutama dalam aliran darah, dan mioglobin yang terdapat dalam sel. Sekitar 20 -30% dari total pigmen yang ada dalam ternak hidup adalah hemoglobin (Fox, 1966). Fungsi biologis dari hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel otot melalui sistem peredaran darah, sedang fungsi mioglobin adalah mengikat oksigen pada dinding sel untuk digunakan pada metabolisme pemecahan secara berurutan dari beberapa metabolit, seperti yang ada pada siklus asam trikarboksilat.
Mioglobin merupakan pigmen utama yang bertanggung jawab untuk warna daging. Ada tiga macam mioglobin yang memberikan warna yang berbeda; pada jaringan otot yang masih hidup, mioglobin dalam bentuk tereduksi dengan warna merah keunguan, mioglobin ini seimbang dengan mioglobin yang mengalami kontak dengan oxigen, oximioglobin yang berwarna merah cerah. Ketika bagian interior daging mengalami kontak dengan oxygen yang berasal dari udara, oxygen akan bergabung dengan heme dari mioglobin untuk menghasilkan oximioglobin. Jadi warna daging berubah dari merah keunguan menjadi merah cerah. Jika oxygen dikeluarkan dari potongan daging, warna akan berubah kembali menjadi merah keunguan sebab pigmen didesoksigenasi kembali menjadi mioglobin (Cross, dkk., 1986).
Reaksi oksigenasi biasanya dapat ditandai pada daging segar < 0,5 jam dan biasanya disebut blooming pada industri daging. Oximioglobin yang merah tetap stabil sepanjang heme tetap teroksigenasi dan besi dalam heme tetap pada status tereduksi (Clydesdale dan Francis, 1971).
Bentuk lain dari mioglobin ditandai adanya oxidasi besi dari heme didalam mioglobin dari bentuk Fe 2+ (ferrous) menjadi Fe 3+ (ferric), disebut sebagai metmioglobin dan berwarna coklat. Metmiglobin adalah pigmen utama penyebab penyimpangan warna daging yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom besi. Nampaknya merupakan pigmen merah kecoklatan yang tidak diinginkan (Gambar 1). Reaksi ini dapat reversible sepanjang ada senyawa pereduksi, seperti NADH (nicotinamide adenine dinucleotide) didalam daging. Ketika kemampuan pereduksi dari otot hilang, namun, warna dari daging tetap coklat sebab atom besi dari heme yang telah teroksidasi tidak dapat direduksi. Namun demikian daging yang demikian masih menyenangkan untuk dikonsumsi setelah dimasak (Cross, dkk., 1986).
Setelah pembentukan metmioglobin, oksidasi lebih lanjut yang merubah mioglobin disebabkan oleh enzim dan bakteri yang akan menghasilkan warna coklat, hijau, dan senyawa –senyawa dengan penampilan memudar.
Beberapa otot pada karkas berubah warnanya lebih cepat daripada yang lain. Ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan mereduksi metmioglobin (metmioglobin reducing ability, MRA) dari sejumlah otot. Beberapa otot mempunyai pereduksi yang berlebih, dimana besi pada heme dari molekul mioglobin dalam status tereduksi untuk suatu periode yang lama, menghasilkan apakah dalam bentuk mioglobin tereduksi atau oximioglobin. Hal ini yang menjelaskan mengapa beberapa potongan daging akan tahan 4 – 5 hari pada lemari pendingin, sementara yang lain akan berubah warna hanya sesudah 1 – 2 hari. Kemampuan mereduksi metmioglobin (MRA) didasarkan atas jumlah glukosa dan enzim pereduksi didalam otot. MRA dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antemortem seperti status nutrisi dan jumlah latihan yang diterima oleh ternak sebelum disembelih.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pigmen daging
Tekanan oksigen yang tinggi adalah karakteristik dari oksimioglobin dan ditemukan pada permukaan daging. Tekanan oksigen yang rendah mengakibatkan pembentukan metmioglobin dan pada akhirnya penampilan daging menjadi coklat.
Reaksi oksidasi mioglobin ungu menjadi metmioglobin coklat disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti suhu tinggi, pH rendah, garam, atmosfer oksigen rendah, bakteri aerobik, daya tembus oksigen yang rendah dari film pembungkus. Faktor-faktor ini penting, bahwa mereka menyebabkan desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil dan penurunan oksigen yang tersedia, yang mana mengakibatkan tekanan oksigen rendah.
Suhu yang tinggi, menyebabkan pembentukan globin yang berfungsi untuk mempertahankan heme menjadi berkurang, akibatnya terjadi desoksigenasi oksimioglobin menjadi mioglobin tereduksi yang tidak stabil. Kemudian mioglobin tereduksi yang tidak stabil tersebut dioksidasi menjadi metmioglobin.
Pada nilai pH <5,4, oksidasi mioglobin akan terjadi. pH yang rendah akan menyebabkan denaturasi terhadap protein globin yang mempertahankan heme dan berikutnya mengakibatkan pelepasan oksigen dari heme demikian juga oksidasi molekul besi. Asam adalah agen oksidasi yang dikenal baik dan oleh karena itu mengoksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Karena pH menurun secara kontinu, maka tingkat oksidasi yang terjadi akan meningkat.
Garam, sebagai agen oksidasi mioglobin, mempunyai dua mekanisme dari pelaksanaan oksidasi. Pertama, garam menurunkan pH pada kondisi buffer daging, jadi oksidasi mioglobin tereduksi menjadi metmioglobin. Kedua, garam menurunkan pengambilan oksigen, menyebabkan tekanan oksigen yang rendah.
Perubahan warna daging dapat juga dihubungkan dengan kontaminasi bakteri aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisi dimana terjadi. Permintaan oksigen yang tinggi bagi bakteri aerobik pada fase logaritmik dari pertumbuhan mengakibatkan pembentukan metmioglobin, menghasilkan pengaruh terhadap perubahan warna. Peningkatan jumlah bakteri aerobik mengakibatkan permukaaan daging berubah warnanya dari merah oksimioglobin menjadi coklat metmiglobin dan kemudian ke ungu mioglobin tereduksi.
Jenis kemasan yang digunakan juga memegang peranan pada oksidasi dan pertumbuhan bakteri.
Pengurasan glikogen sebelum ternak disembelih akan mengakibatkan perubahan warna daging pada saat mengalami rigor mortis dari warna yang seharusnya merah cerah menjadi merah tua (gelap) disertai dengan struktur otot yang merapat (firm) dan kering, dikenal sebagai dark firm dry (dfd) atau biasa juga disebut sebagai dark cutting beef (dcb) pada ternak sapi atau kerbau. Kelainan ini ditandai dengan pH daging yang masih cukup tinggi pada saat rigor mortis yakni diatas pH > 5.8. Dibedakan tiga tingkatan DCB yakni DCB ringan jika pH 5.8 – 6.0, DCB sedang pH 6.0 – 6.2 dan DCB berat jika pH > 6.2.
Warna daging pascarigor juga bisa berwarna pucat akibat instalasi rigor mortis yang sangat cepat yakni bisa beberapa menit pada daging babi yang diakibtakan karena stress yang sangat berat. Kejadian ini merupakan kebalikan dari DCB dan disebut sebagai PSE (pale, soft, exudative): daging berwarna pucat, mudah terurai (sangat lembek), dan berair; pH < 5.3 (dibawah titik iso elektrik daging)
Stimulasi Listrik pada karkas mengakibatkan warna otot menjadi lebih merah cerah pada bagian yang distimulasi dibandingkan pada daerah yang tidak distimulasi
b. Keempukan Daging
Bagi konsumen, keempukan merupakan satu dari kualitas organopletik yang prinsipal pada daging. Keempukan merupakan komponen utama, sebesar 64 %, dalam penilaian tekstur daging masak, kemudian menyusul kebasahan sebesar 19 % (Dransfield dkk., 1984).
Keempukan daging dapat dinilai berdasarkan metoda langsung dan tidak langsung.
Metoda langsung (penilaian sensorik)
Umumnya digunakan oleh para konsumen, penilaian sensorik kualitas daging, khususnya keempukan, didasarkan atas kemudahan penetrasi gigi pada daging dan usaha-usaha yang dilakukan oleh otot-otot pada daerah geraham selama pengunyahan.
Metoda tidak langsung
Metoda ini didasarkan pada penilaian dengan menggunakan instrumen (mekanik) dan analisis kimia daging. Penilaian instrumen mengimitasi lebih atau kurang pengunyahan dalam bentuk pengguntingan/pengirisan atau pemecahan daging.
Pendekatan kimiawi bertujuan untuk mengkarakterisasi kuantitas dan kualitas komponen muskuler yang terlibat dalam kekerasan muskuler, dimana kolagen merupakan salah satu faktor utama dari keragaman.


Penilaian secara instrumental
Sejumlah alat telah dikembangkan untuk mengestimasi keempukan atau sifat-sifat mekanik daging. Peralatan ini didasarkan atas cara kerja seperti: daya putus (pengguntingan), penetrasi, pencincangan atau kompressi (Asghar dan Pearson, 1980).
Metoda yang paling sering digunakan adalah pengguntingan/pemotongan (shear force) dan kompressi (compression).
Evaluasi kimiawi
Penilaian kimia (kadar) kolagen sebagai komponen utama jaringan ikat mulai dikembangkan pada saat Lehman pada tahun 1907 memperlihatkan hubungan antara kandungan kolagen dari beberapa otot dengan keempukan otot-otot tersebut. Sejumlah penelitian telah memperlihatkan hubungan tidak langsung anatara kandungan kolagen dengan kekerasan pada daging. Pengukuran kadar kolagen dilakukan dengan mengukur asam amino hidroksiprolin dengan beberapa teknik; spectrofotometer, nuclear magnetic resonance, infra red spectrofotometer, metoda histokimia dan immunologie (Bergmann dan Loxley, 1963 ; Jozefowics dkk., 1977 ; O'Neil dkk., 1979 ; Bonnet dan Kopp, 1985 ; Etherington dan Sims, 1981).
Pengukuran tingkat retikulasi kolagen yang sangat ditentukan oleh ikatan-silang dilakukan dengan mengukur solubilitas kolagen dan tegangan isometrik kolagen selama pemanasan. Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat retikulasi kolagen yang erat kaitannya dengan umur ternak memperlihatkan hubungan yang erat dengan kekerasan daging.
c. Flavor (Citarasa)
Citarasa daging, merupakan fenomena yang kompleks berkaitan dengan senyawa-senyawa yang larut dan volatil. Melibatkan organ pencicipan dan penciuman dalam penilaiannya.
Citarasa bervariasi berdasarkan atas : potongan daging dan tingkat infiltrasi lemak (marbling), tingkat perubahan yang terjadi selama maturasi, beberapa karakter zooteknis dan cara penyajian masakan.

d. Kebasahan
Merupakan kemampuan daging untuk melepaskan jus (cairan daging) selama pengunyahan, sebaliknya kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air disebut sebagai water holding capacity (WHC).
Kebasahan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian kualitas daging, bersama dengan keempukan dapat menjelaskan sampai > 80 % pilihan konsumen dinegara maju terhadap kualitas daging. Daging yang empuk pada umumnya pada saat gigitan pertama akan menghasilkan jus yang cukup berarti. Terdapat korelasi yang baik antara pelepasan jus daging dengan keempukan.
Kebasahan bervariasi berdasarkan pH, maturasi dan faktor stress.


DAFTAR PUSTAKA

Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2 Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
Effendi, Abustam. 2009. Konversi Otot menjadi Daging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html Diakses pada hari Senin, 1 November 2010.
______________. 2009. Kualitas Daging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html Diakses pada hari Senin, 1 November 2010.

Rabu, 22 September 2010

Manajemen Ternak Sapi Perah di CV. Umbul Jaya Colomadu

II. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani yang sangat penting. Sapi perah sebagai penghasil susu berperan sangat penting sebagai pengumpul bahan-bahan yang tidak bermanfaat sama sekali bagi manusia seperti rumput, limbah, dan hasil ikutan lainnya dari produk pertanian. Air susu sebagai sumber gizi berupa protein hewani yang sangat besar manfaatnya bagi bayi, sebagai masa pertumbuhan, orang dewasa dan lanjut usia. Susu memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga sangat menunjang pertumbuhan, kecerdasan, dan daya tahan tubuh.
Susu sapi mengandung semua bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak sapi yang dilahirkan. Susu juga dapat digunakan sebagai bahan minuman manusia yang sempurna karena di dalamnya mengandung zat gizi dalam perbandingan yang optimal, mudah dicerna, dan tidak ada sisa yang terbuang. Air susu sebagai sumber gizi berupa protein hewani sangat besar manfaatnya bagi bayi, bagi mereka yang sedang dalam proses tumbuh, bagi orang dewasa dan bahkan bagi yang berusia lanjut. Susu dengan kandungan protein yang cukup tinggi dapat menunjang pertumbuhan, kecerdasan, dan daya tahan tubuh.
Peningkatan permintaan produk susu yang tidak diimbangi dengan penambahan produksi sapi tentu saja akan mengakibatkan kebutuhan akan susu tidak dapat terpenuhi. Pemenuhan produk susu dengan penambahan populasi ternak sapi perah membutuhkan proses yang panjang. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan usaha ternak sapi perah memiliki peluang dan prospek usaha yang sangat cerah. Meskipun demikian prospek usaha ternak sapi perah yang sangat menjanjikan di Indonesia ini tidak akan memperoleh hasil yang memuaskan tanpa memperhatikan tata laksana pemeliharaan sapi perah itu sendiri.
Efisiensi pengembangbiakan dan pengembangan usaha ternak perah hanya dapat dicapai apabila peternak memiliki perhatian terhadap tata laksana pemeliharaan dan manajemen pengelolaan yang baik. Adanya manajemen dalam pengelolaan merupakan sesuatu hal yang wajib bagi seseorang pengusaha ternak untuk dimengerti dan dipahami. Manajemen yang meliputi berbagai hal, semisal manajemen perkawinan, manajemen pakan, manajemen kandang, manajemen sapi induk dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan kunci dalam mengusahakan ternak sapi perah. Jika semuanya tersebut dapat dikuasai oleh peternak maka akan menghasilkan hasil yang maksimal.

B. Tujuan dan Manfaat Praktikum
1. Tujuan Praktikum
Praktikum Manajemen Ternak Perah ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui manajemen dalam pengusahaan sapi perah.
b. Mendapatkan pengetahuan serta aplikasi didalam lapangan.
c. Mengetahui peralatan yang digunakan dalam manajemen perusahaan.
d. Mengetahui cara pengelolaan peternakan sapi perah yang baik.
e. Mengetahui proses pemberian pakan dan formulasi ransum
2. Manfaat Praktikum
a. Memotivasi mahasiswa untuk beternak khususnya beternak sapi perah
b. Mengetahui tata cara pemeliharaan ternak perah
c. Mahasiswa mendapat pengalaman dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah di perusahaan
d. Membuat kita lebih bangga bahwa peternakan merupakan tempat yang dapat memberikan lapangan pekerjaan.





III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keterangan Umum Perusahaan
Salah satu usaha yang masih bisa dikembangkan peternak di tengah kondisi perekonomian yang mencekik ini adalah sapi perah. Produktivitas sapi perah sebagai penghasil susu utama, salah satunya ditentukan oleh pakan yang berkualitas dan memenuhi kebutuhan sapi perah. Zat makanan yang dibutuhkan oleh sapi perah digunakan untuk hidup pokok dan produksi, kebutuhan sapi perah akan zat-zat makanan erat kaitannya dengan bobot badan dan produksi susu (Nur, 2004).
Pada saat ini di daerah tropis sekurang-kurangnya terdapat 3 tipe perusahaan sapi perah:
1. Produksi tingkat pedesaan (subsisten)
2. Peternak sapi perah, biasanya skala menengah, namun banyak pada skala kecil.
3. Produsen skala besar.
Patut diketahui bahwa sebagian besar produsen air susu di daerah tropik sebagian besar merupakan penduduk pedesaan yang tindakan pertamanya mencakup kebutuhan keluarganya dan kemudian menjual sisa atau kelebihan hasilnya sebagai air susu segar atau hasil pengolahannya (Reksohadiprodjo, 1995).
Sebagian besar produsen sapi perah berskala besar mengelola ternak mereka didalam bangunan baik dikandang maupun di lapangan. Sebagian dari mereka mengembangbiakkan ternak pengganti mereka sendiri, banyak dari mereka sesungguhnya merupakan pusat mengembangbiakkan bagi negara tempat mereka tetapi yang lain membeli induk pengganti (Williamson dan Payne, 1993).
Memang untuk peternakan sapi perah komersial yang pertama harus dipegang adalah syarat teknis. Syarat dekat dengan daerah pemasaran dapat diabaikan dengan adanya kemajuan teknologi peternakan didukung fasilitas transportasi yang baik maka pertimbangan seimbang antara teknis dan ekonomis dapat dilakukan. Untuk sapi perah bila lokasi perternakan tidak sejuk dan tidak tenang produksi susu tidak akan maksimal (Rasyaf, 1996).
Apabila suatu peternakan sapi perah direncanakan, bangunan-bangunan seharusnya diletakkan sedapat mungkin di tengah-tengah dari areal. Hal ini akan memberikan bahwa sapi yang dikelola di ruangan berjalan dalam jarak minimum ke atau dari lapangan dan hijauan yang dipotong di apangan untuk sapi yang dipelihara di dalam kandang akan ditransportasikan hanya dalam jarak minimal. Peternakan harus didrainase dengan baik dan jalan setapak harus dipagari pada kedua sisinya untuk menghindari kerusakan oleh ternak (Williamson dan Payne, 1993).
Pencatatan pada ternak adalah mutlak dilaksanakan karena merupakan data berharga untuk menilai tujuan suatu usaha peternakan untuk menentukan kebijaksanaan dan tata laksana yang harus diambil dan dikerjakan selanjutnya. Selain itu juga untuk mengungkapkan serta menelusuri latar belakang sejarah/silsilah sapi yang dipelihara. Dengan melihat dan mempelajari catatan, seleksi dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien. Penjualan produk dapat tercapai tidak jauh dari yang diharapkan dan ramalan terhadap keadaan di masa mendatang akan tergambarkan (Santosa, 2001).

B. Manajemen Pedet
Saluran pencernaan anak sapi muda berbeda dari sapi dewasa dan anak sapi tidak berfungsi sebagai ruminan sampai berumur beberapa minggu. Pada anak sapi kapasitas perut yang sebenarnya atau abomasum adalah 70 persen dari keempat perut, sedangkan pada anak sapi dewasa hanya 7 persen. Jika anak sapi menyusu, susu melewati rumen dan retikulum dan lewat langsung ke dalam perut yang sebenarnya atau abomasum, dan hanya jika anak sapi minum terlalu banyak setiap susu lewat ke dalam rumen. Rangsang bagi giatnya saluran lewat kerongkongan adalah adanya cairan di belakang mulut. Susu berjalan ke rumen anak sapi kecil mungkin mengental dan kemudian karena ruminasi belum dimulai, membusuk, menyebabkan gangguan pencernaan. Jadi adalah praktek yang lebih baik untuk memberi makan anak sapi sejumlah kecil susu pada selang waktu yang sering dibandingkan sejumlah besar pada selang waktu jarang (Williamson dan Payne, 1993).
Menurut Reksohadiprodjo (1995) penghilangan tanduk dapat dikerjakan ketika umur pedet satu-dua minggu dengan menggosok bungkul tanduk dengan kaustik sampai hampir berdarah, zat kaustik misalnya collodion. Penempelan dengan besi panas dilakukan kalau umur pedet 3-4 minggu. Kalau ada listrik, penempelan dengan setrika listrik paling efektif. Kalau zat kaustik digunakan untuk menghilangkan tanduk, jangan sampai pedet mencemarkan zat kaustik ke induk sapi, atau ke matanya misalnya karena hujan.
Kastrasi dapat dikerjakan dengan pisau (sterilisasi alat harus benar-benar dikerjakan), dengan alat penekan fuiculus, gelang karet ketika pedet berumur 2-3 minggu (10 hari paling baik, karena rasa sakit dan gangguan paling kurang). Alat kastrasi Burdizzo digunakan untuk segala umur, memutus saluran-saluran tanpa melukai kulit (Reksohadiprodjo, 1995).
Perut pedet belum berkembang sepenuhnya. Ia belum dapat memamah biak. Bila diberi rumput, rumput itu tidak dapat dicernakannya dengan baik. Tetapi susu dapat dicernakannya dalam perut besar tanpa dimamah biak. Maka susu adalah makanan yang baik untuk pedet. Tapi sering lembu tidak mengeluarkan banyak susu oleh karenanya pedet kekurangan susu. Sesudah itu diberi rumput sedikit semi sedikit. Perutnya telah berkembang dan ia mulai memamah biak. Waktu ia telah berusia 3 bulan, ia dapat mencernakan rumput dengan baik. Pedet tidak membutuhkan lagi susu induknya. Selanjutnya induknya dapat diperah. Dan pedet itu disapih karena sudah kuat mencernakan rumput sendiri. Umumnya sesudah berumur 6 bulan (LPPS, 1972).
Anak sapi dapat dipisahkan dari induknya segera sesudah lahir dan kemudian dipelihara sendiri. Anak sapi harus memperoleh kolostrum untuk beberapa hari pertama dan sesudah itu dapat diberi minum susu atau makanan pengganti lain susu. Cara lain, pedet dapat dipelihara penuh bersama induknya dan kemudian biasanya disapih pada umur 6-8 bulan (Mangkoewidjojo, 1988).
Penandaan pada ternak sapi merupakan suatu tindakan untuk memberikan tanda kepada ternak sapi secara sementara maupun permanen. Tujuannya sebagai ciri kepunyaan, perhitungan umur atau nomor. Penandaan ini berguna untuk pembibitan, perkawinan, penjualan ataupun tanda milik seseorang / perusahaan peternakan. Penandaan yang lazim dilakukan pada peternak sapi adalah :
1. Tanda telinga, terdiri dari :
a. Ear tag (tanda telinga plastik/logam dengan nomor)
b. Ear notch (tanda telinga dengan cara pengguntingan dalam bentuk v/u).
c. Ear punch (tanda telinga dengan cara perlubangan)
2. Cap bakar pada kulit dengan memakai besi panas
3. Tatto
4. Kalung leher
5. Tanda pada tanduk, biasanya memakai penomoran cat baker
6. Penandaan lain seperti gelang tali plastik atau pada gelambir.
(Santosa, 2001).

C. Manajemen Sapi Dara
Heifer atau sapi dara ialah sapi-sapi betina dengan umur sembilan bulan sampai beranak yang pertama kali, menurut fase pertumbuhannya, sapi dara merupakan kelompok sapi-sapi muda yang laju pertumbuhannya masih berlangsung terus. Masa memelihara sapi perah dara dari saat disapih sampai saat melahirkan pertama kali dibagi menjadi dua periode yaitu pertama dari disapih sampai mulai dikawinan dan kedua mulai dikawinkan sampai melahirkan pertama kali (AAK, 1995).
Di daerah beriklim sedang sapi dara dari bangsa sapi perah yang lebih kecil biasanya dikawinkan pertama kali kira-kira pada umur 15 bulan sedangkan bangsa yang lebih besar dikawinkan pertama kali sekitar umur 18 bulan sebagian besar dari sapi dara di daerah tropis terlalu kecil dan oleh karenanya terlalu muda untuk dikawinkan pada umur - umur ini dan oleh karenanya umumnya perkawinan pertama tidak terjadi sampai mereka lebih dewasa. Sehingga dianjurkan untuk mempergunakan berat hidup umur sebagai penentuan kapan sapi dara harusnya pertama kali dikawinkan. Berat hidup yang mencukupi adalah 200-225 kg untuk yang lebih kecil dan 290-315 kg untuk bangsa yang lebih besar (Williamson dan Payne, 1993).
Ketersedian air perlu diperhitungkan terlebih dahulu sebelum suatu usaha pemeliharaan sapi dimulai karena air merupakan suatu kebutuhan mutlak. Ketersediaan air diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan kandang atau halaman serta untuk memandikan sapi. Kebutuhan air minum dapat berasal dari air minum khusus yang sengaja disediakan pada bak-bak air, baik di padang penggembalaan maupun di kandang ataupun di halaman pengelolaan. Oleh karena itu cara penyediaan maupun cara pembeian memerlukan peralatan yang bagus (Santosa, 2001).
Jenis pakan penguat atau konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan kadar serat yang rendah. Pakan konsentrat meliputi susunan bahan pakan yang terdiri dari biji-bijian dan beberapa limbah hasil proses industri bahan pangan bijian seperti jagung giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, dan ubi. Untuk menjamin kebutuhan nutrisi ditambahkan pula sumber lain seperti tepung tulang, tepung ikan, vitamin dan lain-lain. Peranan pakan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat (Akoso, 1996).
Mengenai rumput-rumputan ada yang tumbuh dengan sendirinya dan ada yang sengaja ditanam dan dipelihara untuk makanan ternak. Khusus bagi perusahaan peternakan yang memelihara ternak banyak, contohnya perusahaan susu (tempat pemerahan). Penanaman rumput ini (rumput unggul) biasanya disabit (dipotong) untuk diberikan makan di kandang sedang rumput liar selain disabit/dipotong juga digunakan tempat penggembalaan. Rerumputan meskipun juga dapat dimakan ternak tetapi kandungan zatnya kurang berarti. Namun juga banyak rerumputan yang dapat dimakan ternak dan mengenai zat yang terkandung sedang diteliti belum diketahui dengan seksama. Dari sebagian rerumputan itu dapat dipilih yang mempunyai kandungan zat tinggi untuk dipelihara sebagai makanan ternak yang unggul (Soeyanto, 1981).

D. Manajemen Sapi Dewasa
Periode kehamilan induk di daerah tropis berkisar antara 275 dan 278 hari. Sedangkan untuk periode birahi antara 8-24 hari. Sapi perah biasanya akan birahi kira-kira 30-60 hari sesudah beranak (calving). Di daerah tropis cara yang paling cocok untuk mengawinkan sapi induk pada periode birahi pertama sesudah beranak dan tidak lebih dari 6 hari sesudah melahirkan. Apabila dia tidak dikawinkan pada saat ini bukti-bukti yang tersedia mengatakan bahwa dia akan menjadi lebih sulit untuk mendapatkan anak (Williamson dan Payne, 1993).
Penentuan kebuntingan harus dijalankan secara teratur dan intervalnya harus cukup pendek, misalnya 30-40 hari sekali. Sapi-sapi yang telah dinyatakan bunting masih harus dicek lagi setelah 90-120 hari setelah pengecekan pertama. Hewan yang tidak kembali birahi dapat dengan pasti dinyatakan bunting atau mengidap suatu penyakit hormonal atau lain-lain kelainan (Partodiharjo, 1980).
Pada sapi semakin lama masa kering yang didapatkan semakin besar persistensi pada laktasi berikutnya. Memperpendek masa kering sebelum laktasi kedua akan memperendah produksi susunya sampai batas tertentu daripada memperpendek masa kering tersebut sebelum laktasi yang akan datang. Hal ini dapat diterangkan pertumbuhan yang lebih besar dari tubuh dan kelenjar susu yang terjadi sebelum laktasi kedua daripada kemudian berikutnya. Setelah sapi dikeringkan untuk persiapan kelahiran berikutnya maka kelenjar susunya tetap mengeluarkan cairan yang sama seperti kolostrum dan yang terutama kaya akan globulin. Selama dua minggu terakhir terdapat kenaikan yang hebat dalam globuler-globuler tersebut (Anggorodi, 1979).
Sapi betina biasanya birahi lagi 30-60 hari sesudah melahirkan pedetnya. Di daerah tropik sapi kawin lagi 30 hari sesudah beranak tidak lebih dari 60 hari. Biasanya sapi betina steril didalam kelompoknya yang berumur 10 tahun adalah sebanyak 3-5 %, makin tua sapi prosentase ini makin baik. Sapi yang beranak secara teratur dengan interval 12 bulan harus dikeringkan selama 2 bulan. Periode kering memungkinkan kelenjar air susu sapi beristirahat dan mengganti sel-selnya dan tubuh hewan dapat membangun cadangan makanan yang berguna bagi laktasi berikutnya (Reksohadiprodjo, 1995).
Pada proses kelahiran anak sapi kadang-kadang kita jumpai adanya kesulitan beranak (distokia) yang sangat membahayakan induk bahkan pedetnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi distokia antara lain adalah :
- Umur induk, sangat besar pengaruhnya terhadap kesulitan beranak dalam hal ini berhubungan dengan saluran peranakan (birth canal).
- Bangsa, sangat berpengaruh nyata terhadap terjadinya distokia.
- Jenis kelamin, berat lahir pedet pejantan rata-rata 1,5 – 3 kg lebih tinggi dibanding pedet betina.
- Lama bunting, fetus dalam kandungan perut induknya selalu berkembang, perkembangan terakhir dengan pertambahan berta badan rata-rata 1 – 1,5 pound/hari bahkan kadang lebih.
- Makanan, kelebihan makanan biasanya adalah diubah menjadi lemak sehingga seperti tampak gemuk.
- Posisi pedet, menurut penelitian dari seluruh proses kelahiran pada sapi kira-kira 4 - 5 % terjadi kelahiran abnormal dengan letak fetus tidak semestinya.
Sistem perkawinan sapi perah dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu perkawinan alam dan perkawinan buatan. Pada perkawinan alam seakan pejantan memancarkan sperma langsung ke alat reproduksi betina. Sedangkan perkawinan buatan atau AI ialah suatu cara perkawinan dimana sperma dikumpulkan (disadap) dari pejantan untuk dirawat atau disimpan dalam kondisi terbentuk di luar tubuh hewan, kemudian dengan pertolongan suatu alat semen itu dimasukkan ke dalam alat kelamin betina. Jadi proses dari perkawinan ini meliputi pengumpulan sperma (semen) perawatan sperma dan memasukkan sperma ke dalam alat reproduksi betina (AAK, 1982).
Seorang peternak harus mengetahui kapan ternak-ternak di dalam kelompok ternaknya mulai bunting. Setiap tahun biasanya terjadi banyak kerugian akibat pemotongan hewan ternak yang bunting. Indikasi kebuntingan yang sederhana dan cukup efektif, ialah ternak tersebut dinyatakan bunting jika setelah ±45 hari setelah perkawinan tidak birahi kembali, tetapi tidak diketahui oleh pemilik dan anggapan bahwa ternak tersebut telah bunting sama sekali keliru. Sebaliknya dapat pula terjadi bahwa ternak birahi kembali meskipun sebenarnya ia telah bunting. Cara yang paling umum untuk menyidik kebuntingan ialah melalui palpasi rektal, dan seseorang yang telah berpengalaman dapat menyatakannya dengan ketepatan yang tinggi mengenai status dan umur kebuntingan (Pane,1993).

E. Manajemen Kesehatan
Sapi yang akan diperah harus dalam keadaan bersih. Tempat dan peralatan yang bersih akan percuma kalau sapi itu kotor. Semua kotoran pada tubuh sapi akan mengotori air susu sehingga mudah rusak. Hanya sapi-sapi yang bersihlah yang akan menghasilkan air susu yang sehat. Itulah sebabnya sapi-sapi yang akan diperah harus dimandikan terlebih dahulu, paling tidak bagian tubuh tertentu seperti pada lipatan paha, ambing dan puting (AAK, 1995).
Radang ambing merupakan radang infeksi yang berlangsung secara akut, subakut maupun kronik. Radang ambing ini ditandai dengan kenaikan sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai dengan perubahan patologis atas kelenjarnya sendiri (Subronto, 1993).
Mastitis adalah suatu peradangan pada ambing yang bersifat akut atau menahun dan terjadi pada semua jenis mamalia. Pada sapi penyakit ini sering dijumpai pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman/ mikoplasma. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya infeksi terutama yang ditimbulkan oleh kesalahan manajemen dan higiene pemerahan yang tidak memenuhi standart. Dalam periode tertentu secara rutin perlu dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya mastitis sub-klnis dengan melaksanakan CMT (California Mastitis Test). Pengobaan dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik dengan kuman yang menginfeksi dan disarankan agar dilakukan pula sensitivitas terhadap kuman. Berbagai jenis bakteri yang telah diketahui sebagai agen penyabab penyakit mastitis antara lain: Streptococcus agalactiae, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis, Streptococcus zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes dan pseudomonas aeruginosa. Dalam keadaan tertentu dijumpai pula Mycoplasma sp. dan Nocardia asteroides (Akoso, 1996).
Milk fever yang terjadi pada sapi perah disebabkan karena adanya gangguan metabolisme mineral. Peranan glandula tak bersaluran pituitary, pada thyreoidea dan ovaria menentukan terjadinya penyakit ini terutama pada ternak berproduksi air susu tinggi pada periode laktasi ketiga atau sampai kelima yang menerima ransum dengan protein tinggi dan kondisi sapi sebenarnya dalam keadaan baik. Banyak kejadian terjadi pada 3 hari pertama setelah melahirkan (Reksohadiprodjo, 1984).
Penularan Brucellosis dapat terjadi melalui pencernaan makanan yang bercampur dengan Brucellosis. Media yang dapat membawa penyakit adalah jerami, konsentrat, air minum, lantai kandang, kotoran kelamin, selaput fetus atau fetus. Infeksi dari induk bisa melalui plasenta sebelum lahir atau melalui air susu setelah lahir tetapi penularan ini tidak selalu menyebabkan penyakit pada anak dan biasanya akan menghilang beberapa minggu kemudian karena adanya imunitas yang pasif (Hardjopranjoto, 1995).
Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit menular antara lain :
1. Menghapus hama kandang dan peralatan lainnya. Semua kandang dan yang hargamnya relatif murah seperti bahan-bahan dari jerami, kertas dan lain-lain harus dibakar. Untuk benda-benda yang harganya mahal sebaiknya disucihamakan saja.
2. Membakar bangkai hewan ternak. Semua hewan ternak yang mati akibat penyakit menular, yang menurut ketentuan undang-undang harus dibakar, maka perlu dibakar.
3. Mengubur bangkai. Bila keadaan tidak mamungkinkan, karena tidak ada bahan bakar, sebaiknya bangkai dikubur saja, dengan ketentuan liang kubur tidak boleh kurang dari 2 m dalamnya.
4. Menghapus hama orang dan hewan. Bagi orang-orang serta hewan yang terkena penyakit menular dapat dicuci dengan menggunakan sabun dan air hangat, kemudian digosok dengan obat-obatan desinfektan seperti : kreolin, lysol, karbol, dan lain-lain (Girisonta, 1974).

F. Kandang dan Peralatan
Hampir selama hidupnya sapi perah berada dalam kandang. Hanya kadang-kadang saja sapi perah dibawa ke luar kandang. Oleh karena itu kandang bagi sapi perah tidak hanya bersifat sebagai tempat tinggal saja, akan tetapi juga harus dapat memberi perlindungan dari segala aspek yang mengganggu. Dengan perkataan lain, kandang harus dapat mengeliminir segala faktor luar yang dapat menimbulkan gangguan pada sapi perah yang berada di dalamnya. Di samping faktor luar tadi, hal-hal lainnya yang menyangkut pembuatan kandang perlu diperhatikan (Siregar, 1992).
Kandang merupakan tempat ternak melakukan segala aktivitas hidupnya. Kandang yang baik adalah sesuai dengan persyaratan kondisi kebutuhan dan kesehatan sapi perah. Persyaratan umum perkandangan adalah sebagai berikut:
1. Sinar matahari cukup dan mendapat sinar matahari, sehingga kandang tidak lembab. Sinar matahari pada pagi hari tidak terlalu panas dan mengandung sinar UV yang berfunsi sebagai desinfektan, dan pembentukan vitamin D
2. Lantai kandang selalu kering. Kandang yang lantainya basah apabila berbaring maka tubuhnya akan basah yang dapat mengaggu pernapasan
3. Tempat pakan yang lebar sehingga sapi mudah untuk mengkonsumsi pakan
(Sasono et al., 2009).
Bahan atap yang biasa digunakan adalah genting, seng, asbes, rumbai, alang- alang (ijuk). Untuk bahan genting biasanya menggunakan bahan yang mudah didapat dan harganya lebih efisien. Dari beberapa macam bahan yang bayak digunakan adalah genting, karena terdapat celah- celah sehingga sirkulasi udara cukup baik, apabila menggunakan bahan seng untuk atap dibuat tiang yang tinggi agar panasnya tidak begitu berpengaruh terhadap ternak ( AAK, 2009).
Susu hasil pemerahan ditampung dengan wadah khusus, wadah yang dapat digunakan dapat berupa ember plastik yang dikhususkan untuk menampung susu. Setelah selesai susu dapat dimasukkan ke dalam can susu. Biasanya peternak menuangkan susu ke dalam can sambil disaring dengan kain bersih. Susu harus segera dimasukkan ke dalam lemari pendingin, jangan menyimpan susu (Rasyaf, 1996).
Kebersihan alat-alat termasuk disini ember susu, kaleng susu (milk can), botol susu. Alat penyaring sebelum dipakai harus dicuci yang bersih adapun caranya mula-mula alat–alat tersebut dicuci dengan air dingin atau hangat untuk menghilangkan bekas susu yang menempel kemudian dicuci air sabun yang hangat dengan disikat untuk menghilangkan lemak, seterusnya dibilas dengan air biasa dan dikeringkan dengan menempatkannya pada tempat yang langsung kena sinar matahari (Sasongko, 1986).


G. Kamar Susu, Perlengkapan dan Perlakuan Susu
Sistem bucket adalah salah satu pemerahan memakai mesin sebagai pengganti tangan yang dapat dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lain, cocok digunakan peternakan kecil, susu ditampung di bucket yang terdapat di setiap mesin. Setelah susu hasil pemerahan setiap ekor spi ditakar terlebih dahulu kemudian dituang ke tangki pendingin (Siregar, 1992).
Semua susu harus disaring segera setelah pemerahan selesai. Alat saring yang khusus merupakan alat yang paling efisien dan bersih untuk keperluan ini, oleh karena itu saringan ini dibuang setelah dipakai. Bagaimanapun juga jenis kain yang cocok dapat dipakai asalkan sering-sering diganti dan dicuci dengan baik serta disterilkan setelah dipakai. Segera setelah sapi selesai diperah bakteri dalam susu mulai berkembang. Pendinginan dengan segera dari susu akan sangat mengurangi perkembangan bakteri (Williamson, 1993).
Saringan atau filter merupakan salah satu proses pembersihan susu. Susu harus disaring di ruangan dimana tidak terlalu banyak debu. Jika sudah melakukan pemerahan dengan bersih, filter akan tetap bersih. Tujuan penyaringan tidak untuk membersihkan susu kotor. Saat pemerahan harus dihasilkan susu bersih, penyaringan hanya sebagai penanganan (Soetarno,2000).
Suatu produk susu yang steril mempunyai beberapa ciri yang menarik, yaitu tidak membutuhkan penyimpanan dalam lemari es, serta dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Metode-metode biasa dipakai untuk sterilisasi bahan makanan ternyata tidak memuaskan untuk sterilisasi susu. Namun, telah dikembangkan teknik-teknik komersial untuk sterilisasi susu yang memanaskan susu pada suhu ultra tinggi dalam waktu yang singkat (Pelczara dan Chan, 1988).
Susu segar yang dihasilkan harus segera ditangani dengan cepat dan benar. Hal ini disebabkan seperti susu segar yang sangat mudah rusak dan mudah terkontaminasi. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar susu segar dapat terjual dengan kualitas baik sebagai berikut:
1. peralatan yang digunakan untuk menampung susu segar baik berupa ember perah harus dalam keadaan bersih. Jika peralatan bersih, unur susu segar bisa mencapai 3 jam, setelah itu susu akan rusak atau asam.
2. Sebelum dimasukkan ke dalam milk can, susu harus disaring dahulu agar bulu sapi dan vaseline yang tercampur dengan susu tidak terbawa masuk ke dalam wadah.
3. Waktu pengiriman dihitung pasa saat susu selesai diperah hingga susu tiba di konsumen.
4. Pendinginan susu dengan suhu 40 C agar lebih tahan lama jika suhu lebih dari 40 C, bakteri mudah berkembang biak (Sudono, et all, 2003).
Sebuah kamar susu mutlak diperlukan, apakah sapi diperah dengan tangan atau dengan mesin. Jika sapi diperah dengan tangan atau diperah mesin dengan penampungan terendiri, maka diperlukan sebuah kamar yang menempel dengan kamar perah. Kamar ini hendaknya terletak pada tempat yang bertentangan dengan arah angin yang menuju tempat makanan. Bila sapi diperah dengan mesin perah dengan system pipa maka kamar susu hendaknya terletak pada ujung pipa oleh karena release (pembebas susu) harus berada dalam kamar susu, demikian juga dengan alat-alat yang berhubungan dengan tempat penyimpanan susu (Williamson dan payne, 1993).
Pasteuerisasi adalah proses pembasmian bakteri patogen yang mungkin masih terdapat di dalam air susu. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan memanaskan air susu pada suhu tertentu. Pada garis besarnya ada 2 macam pasteurisasi yang biasa dilakukan, yakni:
-Temperatur rendah dalam waktu yang lama yaitu 720 C selama 30 menit.
-Temperatur tinggi dalam waktu yang singkat yaitu 800 C selama 3 detik.
(AAK, 1995).



H. Penanganan Feses
Limbah sapi dapat berupa kotoran/feses dan air seni. Saat ini, limbah sapi yang dijadikan kompos atau pupuk organik banak diminati masyarakat. Hal ini disebabkan harga pupuk kimia relatif mahal dan merusak zat hara tanah. Pengolahan limbah sapi menjadi kompos jika dilakukan dengan benar akan menjadi sumber penghasilan tambahan. Pengolahan limbah sapi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari bahan tambahan yang digunakan (Sudono, 2003).
Tinja atau feses ternak dapat dikelola dengan baik untuk tujuan yang bermanfaat misal untuk pembuatan pupuk, makanan ikan serta dapat pula dimanfaatkan sebagai energi bio gas. Gas bio adalah campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Campuran gas yang dihasilkan dari proses fermentasi tersebut adalah methan, karbondioksida, nitrogen, karbon monoksida, oksigen, propan, hidrogen sulfida dan sebagainya (Jauhari, 1986).
Kotoran sapi bila didekomposisi dengan stardec yang mengandung mikroorganisme cell akan menghasilkan pupuk organik disebut sebagai fine compost. Fine compost akan menyuplai unsur hara yang ddiperlukan tanaman sekaligus memperbaiki struktur tanah. Hasilnya, biaya produksi lebih rendah dan produksi meningkat. Stardec dihasilkan LHM (Lembah Hijau Multifarm), bertujuan sebagai salah satu upaya membantu tercapainya keseimbangan, serta membuat limbah-limbah yang tidak berguna menjadi berdaya guna dan berdaya hasil. Limbah seperti kotoran ternak dan blotong pabrik gula yang diolah dengan stardec mampu menciptakan sebuah solusi untuk meningkatkan martabat alam yang seimbang (Trobos, 2001).
Biogas diproduksi bakteri dari bahan organik di dalam kondisi hampa udara (anaerobic process). Proses ini berlangsung selama pengolahan atau fermentasi. Gas tersebut sebagian besar terdiri dari CH4 dan CO2. Campuran gas ini mudah terbakar jika kadar methane yang terkandung mencapai lebih dari 50%. Biogas yang berasal dari kotoran ternak kira-kira berisi 60% methane (Sasse, 1992).
Pengambilan kotoran ternak sapi perah sebaiknya dilakukan di pagi hari. Pengambilan kotoran pada pagi hari memiliki beberapa keuntungan, yaitu segera tercipta lingkungan yang bersih dan pemerahan susu dilakukan pada kondisi lingkungan bersih sehingga kebersihan susu lebih terjamin. Cara pengambilan kotorannya biasanya dilakukan dengan mengguyur kotoran yang berserakan dengan air kearah parit. Selanjutnya dari selokan ini kotoran digiring ke satu bak penampungan. Setelah itu, kotoran ini diambil dengan serok untuk disimpan di tempat penampungan. Jika jumlah sapinya tidak banyak, pengambilan juga dapat dilakukan langsung dengan menyerok kotoran yang berserakan di lantai (Setiawan, 1996).

I. Hambatan dan Kendala serta Pemecahan
Keberhasilan suatu peternakan tergantung kepada tata laksana yang dilakukan. Tanpa tata laksana yang teratur dan baik produksi yang dihasilkan ternak tidak akan sesuai dengan yang diharapkan, bahkan suatu kerugian dan kehancuran yang cukup besar akan senantiasa mengancam, peranan manajer dalam suatu usaha perusahaan peternakan sangat menonjol / kehadiran tenaga terlatih yang sangat terampil melakukan segala tata laksana peternakan disertai penataan perlengkapan dan peralatan. Perusahaan peternakan yang disesuaikan dengan faktor fisik dan ekonomi akan menentukan keberhasilan tujuan tersebut (Santosa, 2001).
Rendahnya produksi air susu sapi didaerah tropik disebabkan interaksi faktor-faktor klimat, penyakit, pemuliaan pakan dan pengelolaan. Pengaruh klimat terhadap produksi air susu sangat bergam karena klimat sendiri merupkan faktor yang dipengaruhi hal-hal yang kompleks dan bervariasi luas didalam daerah tropik itu. Ketinggian tempat yang sedang dan tinggi berklimat baik untuk sapi. Sapi perah yang tidak begitu terpengaruh stress sehingga sapi masih dapat berproduksi dengan memadai. Klimat secara langsung dan tak langsung mempengaruhi produksi air susu dan industri air susu, terutama dalam hal–hal pengaruh terhadap persediaan pakan, timbulnya penyakit ternak dan terhadap transpor dan penyimpanan air susu dan bahan (Wiliamson dan Payne, 1993).
Penanaman pakan ternak menghadapi beberapa kendala yaitu memerlukan investasi lahan yang mahal, pemeliharaan tanaman yang tidak murah, pengangkutan hijauan dari lokasi ke farm secara rutin setiap hari, hasil panen berfluktuasi tergantung musim dan penyimpanan dalam bentuk silase yang mahal. Untuk itu telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas limbah pertanian baik dengan cara fisik, kimiawi maupun biologi. Tetapi cara-cara tersebut biasanya disamping mahal, juga hasilnya kurang memuaskan. Dengan cara fisik misalnya memerlukan investasi yang mahal, secara kimiawi meninggalkan residu yang berefek buruk, sedangkan cara biologi memerlukan peralatan yang mahal karena kondisinya harus anaerob dan hasilnya yang berbau amonia menyengat kurang disukai (Anggorodi, 1979).
Susu saat diperah dimasukkan ember penampung memiliki kelemahan karena kualitasnya akan berkurang. Ini terjadi karena susu sudah terbuka pada situasi lingkungan kandang yang ada saat itu. Hal pertama susu akan mengandung lemak tidak jenuh dan susu siap menangkap segala hal yang saat itu memang keberadaannya dominan, seperti bebauan yang mencolok. Hal kedua ialah pada saat terbuka bakteri yang memang sudah ada di lingkungan tersebut akan masuk dan merusak susu (Rasyaf, 1996).
Ada beberapa permasalahan yang menyebabkan pengembangan sapi perah di Indonesia mengalami kelambanan walaupun populsi sapi perah meningkat pesat, diantaranya yaitu :
1. Permintaan akan komoditi susu segar tidak menunjukkan peningkatan yang pesat walau peningkatan akan komoditi protein hewani telah mengalami peningkatan yang sangat pesat.
2. Kurangnya tenaga inseminatorpada daerah tertentu, dimana di daerah tersebut banyak peternak sapi perah yang menginginkannya.
3. Sebagai akibat perkembangan ternak perah, maka daerah sekitar lokasi peternakan akan mengalami kekurangan rumput gajah (rumput hijau) yang merupakan sumber makanan bergizi bagi ternak sapi-sapi perah.
4. Masalah penyakit yang dapat menyerang ternak sapi perah.
5. Tidak semua peternak dapat memasarkan hasil produksinya dengan baik dan lancar
(Siregar,1992).
Ada beberapa hal yang sering menimbulkan hambatan bagi usaha ternak sapi perah, antara lain :
1. Iklim. Negara kita yang beriklim tropis sehingga sering mengalami temperatur yang membumbung tinggi sehingga merupakan suatu hal yang sangat bertentangan dengan kehidupan sapi perah.
2. Permodalan. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan atau pegunungan terhalang oleh permodalan finansial dan skill kurang walaupun temperatur memungkinkan usaha sapi perah.
3. Pemasaran yang belum maju, sebab produksi susu di dalam negeri mendapat saingan berat dengan susu kaleng, daya beli rakyat yang masih rendah, dan higiene produksi air susu dari peternak rakyat kurang sempurna.
4. Kekurangan tenaga ahli.
5. Komunikasi (sarana angkutan) yang sulit.
(AAK,1995).






IV. MATERI DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum mata kuliah Manajemen Ternak Perah ini dilaksanakan di Perusahaan Sapi Perah “Umbul Jaya” yang berlokasi di Jalan Mojo no. 2, Kelurahan Karang Asem , Kecamatan Laweyan Surakarta pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 2-3 Mei 2009 pada pukul 04.00- 15.30 WIB.
B. Bahan dan Alat Praktikum
1. Bahan pada praktikum kali ini adalah sapi perah peranakan FH.
2. Alat praktikum yang digunakan adalah sebagai berikut;
a. Ember penampung susu
b. Wadah susu / milk can
c. Selang air
d. Sapu lidi
e. Sikat
f. Botol /jirigen susu
g. Ember pakan
h. Pemotong rumput /Chopper
i. Cangkul pengaduk pakan
j. Vaselin
k. Penggaruk
l. Keranjang hijauan

C. Metode Praktikum
Metode yang dilakukan dalam praktikum Manajemen Ternak Perah ini adalah praktikan melakukan serangkaian kegiatan pemeliharaan sapi perah perusahaan, meliputi ;
1. Membersihkan kandang ternak
2. Membersihkan tempat pakan dan tempat minum ternak
3. Mencampur pakan konsentrat
4. Memberikan pakan konsentrat
5. Mencacah hijauan segar
6. Memberikan hijauan segar
7. Melakukan pemerahan
8. Mengumpulkan dan menyaring susu
9. Memandikan ternak






















V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keterangan Umum Perusahaan
1. Hasil Pengamatan
a. Sejarah Perusahaan
1. Nama Perusahaan adalah Perusahaan Sapi Perah UD. Umbul Jaya
2. Pemilik : Bpk. Jumadi CP
3. Alamat : Jln. Mojo no. 2 Karang Asem Rt 05/ 8, Laweyan, Surakarta.
4. Berdiri tahun 1960-an
5. Modal awal 5 ekor sapi.
6. Modal sekarang; ternak 48 sapi , luas kandang 400m2, lahan 5600m2, karyawan 4 orang
7. Tujuan dan motivasi usaha adalah memenuhi kebutuhan hidup
8. Rencana pengembangan dan prospek usaha; pembelian sapi, pembesaran pedet, pembuatan produk susu selain susu segar
9. Hambatan dan masalah; kerugian dalam perdagangan sapi dan bangunan kandang yang tidak memungkinkan penambahan jumlah sapi serta penjualan susu murni musim penghujan mengalami kesulitan
b. Pendidikan dan pengalaman peternak;
1. Berpengalaman beternak selama puluhan tahun dan pernah belajar satu bulan di perusahaan sapi perah.
2. Gaji karyawan Rp 40.000, 00 per hari.
c. Lokasi dan lay out kandang
Letak perusahaan sebelah utara berbatasan dengan rumah penduduk, sebelah selatan berbatasan dengan rumah penduduk, sebelah timur berbatasan dengan jalan raya dan sebelah barat berbatasan dengan lahan penduduk.


d. Bangsa dan populasi sapi perah
1. Bangsa sapi perah adalah peranakan Friesian Holstein.
2. Populasi sapi perah:
a. Pedet betina pra sapih: -
b. Sapi dara: 22 ekor.
c. Sapi laktasi: 18 ekor
d. Sapi kering kandang: 4 ekor
e. Pedet jantan prasapih: -
f. Sapi jantan muda: 3
g. Sapi pejantan dewasa: 1 ekor


Gambar 1. Foto Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
Perusahaan sapi perah “Umbul Jaya” terletak di jalan Mojo no. 2 Karangasem Rt 05 / 8, Laweyan, Surakarta. Perusahaan ini didirikan pada th 60-an dengan nama “Umbul Sari”. Pergantian nama Umbul Sari menjadi Umbul Jaya diharapkan mampu meningkatkan produksi susu dan meningkatkan populasi sapi perah yang ada di perusahaan sapi perah tersebut. Perusahaan sapi perah ini pada awalnya berada pada posisi yang sangat strategis dan memenuhi syarat lokasi perkandangan, seperti yang diungkapkan Reksohadiprojo (1995) yaitu lokasi kandang sapi perah diusahakan dekat sungai jalan raya, dekat sumber air dan sumber pakan serta sekat dengan daerah pemasaran yaitu kota Surakarta tepatnya di Pasar Gede.
Tujuan dan motivasi pendirian perusahaan sapi perah “Umbul Jaya“ adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beban kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga memberikan motivasi pada Bapak Jumadi CP untuk memulai usaha sapi perah. dengan modal awal 5 ekor sapi perah PFH masa produksi (laktasi) lahan kandang seluas 700 m2 dan pengalaman blantik sapi perah yang dimiliki bapak Jumadi CP inilah perusahaan sapi perah Umbul Jaya sudah memiliki ternak sebanyak 48 ekor sapi perah yaitu sapi betina dara 22 ekor, sapi betina laktasi 18 ekor, sapi betina kering kandang 4 ekor, sapi jantan muda 3 ekor dan sapi jantan dewasa yang siap mengawini 1 ekor, serta memiliki 4 karyawan.
Usaha peningkatan sapi perah di Umbul Jaya ini melalui pembelian sapi maupun dengan membesarkan pedet dari sapi sapi yang melahirkan, namun demikian peningkatan populasi sapi perah Umbul Jaya mempunyai hambatan hambatan yaitu kerugian dalam perdagangan sapi perah dan bangunan kandang yang tidak memungkinkan untuk penambahan sapi. Sehingga usaha peningkatan jumlah sapi di Umbul Jaya terlihat terhenti peningkatan keuntungan selain penjualan susu segar di perusahaan sapi perah Umbul Jaya diperoleh dari penjualan dari sapi perah laktasi ke pasar dan pembuatan produk selain susu segar. Pembuatan produk selain susu segar seperti susu coklat, susu kopi, susu strawberi, dan susu kacang hijau. Dihentikan pada tahun 1997. Penyebabnya adalah melambunganya harga gula dan kebutuhan lain setelah krisis ekonomi di Indonesia. Pemasaaran susu segar yang sulit sejak awal pendirian ”Umbul Jaya“ sampai tahun 1997 menjadi mudah setelah harga jual produk produk susu, seperti susu kaleng, susu bubuk dan produk susu lain di pasaran melambung tinggi pasca krisis ekonomi.
Dalam operasional perusahaan, perusahan sapi perah Umbul Jaya tidak terdapat struktur organisasi maupun job diskripsi yang jelas. Perusahaan ini dijalankan berdasarkan perintah dari pemilik yang juga merangkap sebagai pengelola langsung ke karyawan. Karyawan di perusahaan sapi perah Umbul Jaya ini bekerja berdasarkan kemauan dan kebiasaan serta sikap tidak mengeluh selama bekerja. Gaji karyawan per hari sebesar + Rp 40.000, 00. Jaminan kesehatan dan kesejahteraan karyawan di perusahaan ini tidak ada. Terlihat dengan tidak adanya asuransi maupun perhatian yang lebih terhadap karyawan. Pekerjaan membersihkan halaman, membuat ransum pakan melebihi jam kerja tidak diperhitungkan sebagai jam lembur tetapi hanya sebagai pekerjaan biasa. Perumahan karyawan yang kurang memadai dan hanya ditempat di tempat yang kosong seperti bekas kamar susu. Hal ini memperlihatkan bawa perusahaan sapi perah Umbul Jaya kurang memberikan jaminan kesejahteraan bagi karyawannya.
Dilihat dari lokasi dan layout perkandangan, perusahan sapi Umbul Jaya telah memenui syarat lokasi maupun syarat-syarat perkandangan yang baik. Letak kantor terletak di sebelah selatan gudang pakan, kandang terletak di sebelah utara dekat sungai. Kandang ini terdiri dari kandang pedet, kandang sapi dara, kandang sapi dewasa, kandang laktasi, kandang pejantan, serta kandang karantina. Kamar susu terletak di sebelah timur dan sekarang sudah tidak dipakai lagi. Gudang pakan terletak di antara tempat pemotongan rumput dan kantor. Perumahan karyawan berada di sebelah timur kandang dan selatan kandang. Dari segi lokasi perusahaan ini terletak dekat dengan sungai, dekat dengan sumber air, sumber pakan, dekat dengan jalan raya, dan daerah pemasaran.


B. Manajemen Pedet
1. Hasil Pengamatan
a. Pakan
1. Pemberian kolostrum terhadap pedet selama 7 hari
2. Penyapihan pedet pada umur 2,5 - 3 bulan
3. Makanan cair pedet berupa; susu segar ± 4,5 liter sampai disapih selama 2,5 bulan.
4. Pakan konsentrat dan hijauan mulai diberikan pada umur 3 bulan.
5. Rincian pemberian pakan cair;
a. Umur pedet 1-7 hari berupa kolostrum
b. Umur pedet 8 hari hinggga minggu ke 12 berupa susu segar murni dari induk.
b. Kandang Pedet
1. Pedet prasapih = kandang batterey, koloni dengan ukuran 3 x 4 m2 untuk 5 – 7 pedet.
2. Pedet sapih, tidak dijatah per ekor, kandang berupa kandang lantai semen, koloni ukuran 5 x 6 m2.
c. Perlakuan terhadap pedet
1. Dehorning tidak dilakukan, karena dengan adanya tanduk ternak tidak terganggu
2. Pemberian tanda /identifikasi tidak dilakukan, karena pemilik sudah hafal dengan ternaknya.
3. Pemotongan puting tambahan tidak dilakukan, dengan alasan tidak mengganggu dan tidak berpengaruh pada sapi.
4. Pencatan / recording tidak dilakukan dengan alasan pemilik sudah hafal dengan ternaknya.




Gambar 2. Foto Sapi Pedet di Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
a. Pakan pedet
Keputusan pertama yang harus dibuat oleh peternak sapi perah ialah anak sapi harus dipelihara. Tetapi kebanyakan pada perusahaan perusahaan kecil hanya memelihara pedet betina sedangkan pedet jantan dijual. Pedet merupakan anak sapi yang baru lahir sampai dengan umur 8 bulan. Pedet yang baru lahir masih perlu mendapat perhatian secara khusus, sebab pedet yang baru lahir rentan dengan kematian. Angka kematian pedet dapat ditekan dengan perawatan yang sebaik-baiknya, penuh ketelitian, kecermatan, dan ketekunan dalam manejemen pemeliharaan pedet. Pemberian pakan pedet pada perusahan sapi Umbul Jaya dilakukan dengan pemberian susu murni sebanyak 1 liter dengan dua kali pemberian dalam satu hari, sedangkan kolostrum diberikan pada hari pertama selama hingga hari ke tujuh setelah dilahirkan. Kolostrum merupakan susu pancaran pertama yang berwarna kuning agak kental dan berubah menjadi susu biasa sesudah 4-5 hari. Kolostrum sangat penting bagi pedet karena kolostrum mengandung vitamin dan mineral jauh lebih besar dari susu biasa dan juga lebih bersifat pencahar dan membantu membersihkan Intenstinum pada sapi muda dari kotoran yang bergumpal (Williamson & Payne, 1993).
Disamping itu kolostrum juga mengandung anti bodi yang baik untuk pertumbuhan anak sapi. Pemberian kolostrum berbeda dengan pemberian makanan cair yang berupa susu murni. Kolostrum diberikan dengan cara membiarkan membiarkan pedet menyusu sendiri pada induknya. Sedangkan pada pemberian susu murni harus diperah terlebih dahulu baru diberikan pada pedet dalam sebuah ember.
Pakan konsentrat diberikan dua kali pada pagi hari dan siang hari sedangkan hijauan diberikan hanya pada sore hari. Pedet yang telah dilatih makan konsentrat dan hijauan akan disapih setelah berumur 3 bulan. Menyapih berarti memberikan air susu pada pedet baik susu yang berasal dari induk sendiri ataupun dari induk lain. Penyapihan dapat dilakukan dengan sedikit demi sedikit mengurangi jumlah susu yang diberikan, sebaliknya pemberian konsentrat dan hijauan ditingkatkan.
a. Kandang Pedet
Kandang pedet dapat diartikan sebagai kandang tempat tinggal pedet tersebut mendapatkan suasana nyaman Kandang perusahaan sapi perah Umbul Jaya ini untuk pedet pra sapih berupa kandang lantai semen dengan sistem koloni yang berukuran 3 x 4 m2 untuk 5-7 ekor pedet. AAK (1995) menyatakan bahwa kandang yang bersifat individual dan berukuran kecil sebenarnya lebih baik karena mudah untuk membersihkan mensucihamakan peralatan dan lantainya.
b. Perlakuan Tehadap Ternak
Perlakuan tehadap ternak dapat dilakukan bermacam macam seperti: dehorning, pemberian tanda (identifikasi), pemotongan puting tambahan (ekstra teat) dan pencatatan atau recording. Dehorning dilakukan dengan pertimbangan mencegah bahaya penandukan baik bagi peternak sendiri maupun sesama sapi perah yang dipelihara. Perawatan kandang akan lebih tahan lama dan ruangan yang diperlukan lebih sedikit. Pada peternakan Umbul Jaya tidak dilakukan dehorning dengan alasan adanya tanduk tidak akan membahayakan peternak maupun sapi lainnya. Pemberian tanda atau identifikasi pada pedet di perusahaan Umbul Jaya tidak dilakukan karena pemilik sendiri sudah hafal dengan masing-masing ternaknya. Pemotongan ekstra teat tidak mengganggu dan tidak berpengaruh pada sapi. Pada pencatatan (recording) juga tidak pernah dilakukan karena pemilik sudah hafal dengan masing-masing ternaknya.

C. Manajemen Sapi Dara
1. Hasil Pengamatan
a. Pakan Hijauan
1. Jenis pakan:
Pokok = rumput gajah, pemberian = 10kg/ekor/hari
Alternatif = rendeng, pemberian = 5-6 kg/ekor/hari
Lainnya: tebon jagung, pemberian = 10 kg/ekor/hari
Jerami, pemberian = 10 kg/ekor/hari
2. Total pemberian hijauan =10 kg / ekor / hari
3. Asal hijauan:
Rumput gajah = membeli dengan harga 300-400 / kg
Rendeng = membeli dengan harga 500 / kg
Tebon jagung = membeli dengan harga 400-500 / kg






b. Pakan Konsentrat
1. Formulasi Ransum
a. Buatan sendiri dengan formula:
No Jenis Bahan Persentase
1
Ampas Singkong 40,67%
2 Ampas Bir 40,67%
3 Bekatul 14,67 %
4 Garam 3,99 %

1. Pemberian konsentrat dalam bentuk basah
2. Saat pemberian konsentrat adalah sebelum pemberian hijauan dengan alasan agar sapi tahan lapar.
3. Rata-rata pemberian konsentrat = 15 kg/ekor/hari
c. Air Minum
1. Sumber air minum adalah sumur terbuka dengan pompa.
d. Perkawinan
1. Perkawinan sapi dara pertama kali pada :
- Umur ±18-24 bulan.
- Bobot badan + 275 kg
2. Perkawinan pertama sapi dara dilakukan secara :
- Alami , alasan karean punya pejantan
- Inseminasi Buatan, karena untuk meningkatkan mutu keturunan sapi perah yang unggul





Gambar 3. Foto Sapi Dara di Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
a. Pakan Hijauan
Sapi yang umumnya sudah mencapai 8 bulan daya cernanya sudah sempurna, menyamai sapi dewasa, sehingga mampu mencerna bahan makanan yang sarat kasarnya tinggi. Maka pada umur ini sapi hidup periode makanan kasar. Makanan penguat yang dibutuhkan hanya sekedar mencukupi kekurangan zat-zat terdapat dalam rumput. Sedangkan kualitas protein yang terdapat pada makanan penguat yang dibutuhkan tidak perlu sebaik ransum pedet. Pada umur ini bakteri yang terdapat dalam rumen mengubah N bukan protein (NPN : Non Protein Nitrogen). Ransum yang diberikan ialah dua sampai 3 kilo perhari per ekor. Sedangkan rumput 20 kilogram per ekor per hari (Kanisius, 1974).
Sapi yang berumur 9 bulan sampai dengan sapi itu beranak pertama kali sudah bisa dikatakan sapi remaja. Kedewasaan tubuh sapi ini dicapai pada umur 15 sampai 18 bulan. Sehingga pada umur tersebut sudah bisa dikawinkan pertama kali. Sapi-sapi betina muda/remaja ini akan terus tumbuh dengan baik sampai umur 4 – 5 tahun, hal ini apabila makanan yang diberikan cukup dan baik (Kanisius, 1974).
Pada hasil pengamatan, pemberian pakan hijauan diberikan satu kali dalam sehari. Pemberian pakan hijauan ini diberikan + pada jam 15.00 WIB sebelum diberi pakan hijauan sapi-sapi ini terlebih dahulu diberi makan konsentrat dengan formulasi pakan yang dibuat sendiri. Setelah satu jam pemberian konsentrat barulah hijauan diberikan. Hijauan yang diberikan sudah dalam bentuk dipotong-potong. Pemotongan dilakukan menggunakan mesin pemotong manual. Ukuran pemotongan kira-kira 10 cm. Menurut Soetarno (2003) hijauan yang diberikan hendaknya dalam bentuk yang kecil atau potongan kecil. Pemotongan yang dilkukan dimaksudkan agar sapi perah dapat mudah mengkonsumsi pkan serta dapat membantu dalam proses pencernaan kembali (bolus). Hijauan yang diberikan adalah rumput raja dengan total pemberian 10 kg/ ekor/ hari Hijauan ini diperoleh dari membeli dengan harga Rp 300,00 – Rp 400,00 /kg. Hijauan yang diberikan sangat berguna bagi ternak karena mengandung serta kasar dan mineral terutama asetat yang digunakan untuk nutrisi pembentukan susu.
b. Pakan Konsentrat
Formulasi pakan yang diberikan pada sapi-sapi dara ini hampir keseluruhannya hasil pencampuran sendiri. Formulasi pakan yang digunakan yaitu :






Tabel 1.1 Kebutuhan Konsentrat Sapi Perah Umbul Jaya
No Nama Bahan Pakan Komposisi Jumlah total per hari
(kg)
1
2
3
4 Ampas singkong
Ampas bir
Bekatul
Garam 40,67%
40,67%
14,67 %
3,99 % 100
100
140
40

Pencampuran pakan tersebut dilakukan di sebuah tempat dekat dengan tempat penampungan bahan pakan yang tersebut di atas. Pencampuran diusahakan yang rata hingga homogen. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa alat cangkul dan sekop. Sedangkan alat yang digunakan untuk memindahkan pakan dari tempat pencampuran ke bak-bak tempat pakan sapi menggunakan ember. Dalam pencapuran pakan diberi campuran garam dengan tujuan untuk membuat campuran makanan menjadi lebih palatabel serta meningkatkan nafsu makan ternak. Dalam pemberian konsentrat, konsentrat diberikan dalam bentuk basah. Pemberian dalam bentuk basah yaitu dengan cara mencampurkan konsentrat dengan air agar dapat dicerna secara sempurna oleh ternak, serta dapat meningkatkan konsumsi air yang dibutuhkan. Saat konsentrat diberikan sebelum pemberian hijauan. Dengan diberikannya konsentrat terlebih dulu akan dapat mencegah kembung pada perut ternak sehingga meningkatkan nafsu makan ternak tersebut. Konsentrat diberikan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari dan siang hari. Rata-rata pemberian konsentrat ini setiap kali pemberian yaitu 15 kg/ekor/hari.
Menurut Akoso (1996) pakan konsentrat meliputi susunan bahan pakan yang terdiri dari biji-bijian dan beberapa limbah hasil proses industri bahan pangan seperti jagung giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan umbi. Untuk menjamin kebutuhan nutrisi sapi perah dara ditambahkan pula sumber lain seperti tepung tulang, tepung ikan, vitamin, dan lain-lain. Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa konsentrat memiliki kandungan nutrien yang sangat tinggi bagi ternak.
Menurut Santosa (2001) pakan konsentrat yang diberikan terlebih dahulu dimaksdukan agar nutrien dalam konsentrat dapat tercerna dengan mudah serta lansung dimanfaatkan oleh tubuh tanpa harus dirombak atau terdegradasi oleh mikrobia rumen yang ada pada sapi. Selain itu pemeberian dilkukan terlebih dahulu agar sapi dapat mencerna optimal pakan konsentrat karena pakan konsentrat sendiri memilki palatabilitas yang rendah.
c. Air minum
Untuk pemenuhan kebutuhan air minum menggunakan pompa listrik kemudian disalurkan ke bak-bak minum dengan menggunakan selang untuk memudahkan tata laksana pemeliharaan ternak. Selain itu dengan penggunaan pompa listrik ini akan dapat menghemat tenaga kerja dalam tata laksana pemberian air. Pemberian air minum dilakukan setelah pemerahan dan pembersihan kandang ataupun sebagai campuran pakan.
Air adalah zat makanan yang terpenting untuk proses metabolisme dalam tubuh sapi. Ternak akan lebih menderita jika kekurangan air dari pada kekurangan pakan. Karen air berfungsi sebagai penghanter panas. Penyebaran panas, pemindahan panas, proses pencernaan dan banyak lagi fungsi air dalam tubuh ternak. Kebutuhan air untuk ternak secara umum dapat dipenuhi dalam air minum, air yang terkandung di dalam makanan dan air metabolik (Gunawan, 1992).
d. Perkawinan
Di daerah beriklim sedang, sapi dara dari bangsa sapi perah yang lebih kecil biasanya dikawinkan pertama kali kira- kra umur 15 bulan sedangkan bangsa yang lebih besar dikawinkan pertama kali sekitar umur 18 bulan sebagian sapi dara di daerah tropis terlalu kecil dan oleh karenanya terlalu muda untuk dikawinkan pada umur-umur ini dan umumnya perkawinan pertama terjadi sampai mereka lebih dewasa
(Williamsom dan payne, 1993).
Perusahaan Umbul Jaya ini sapi perah dara mulai dikawinkan pertama kali sekitar umur + 18 bulan dngan berat kira- kira 275 kg. Untuk melakukan perkawinan sapi perah dara pertama kali harus mencapai dewasa tubuh dan juga berat tubuh yang memenuhi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi distokia pada ternak. Perkawinan sapi perah dara ini dilakukan secara alami dengan sapi pejantan sendiri. Sedangkan inseminasi buatan dilakukan untuk menghasilkan keturunan yang unggul dari proses perkawinan tersebut.
Hasil yang ada dilapangan sudah sesuai dengan kondisi ideal ternak untuk dikawinkan. Secara normal menurut Williamson dan payne (1993), untuk bangsa sapi perah yang besar biasanya sudah dapat dikawinkan dengan umur 18 bulan serta untuk bobot berkisar antara 275-300 kg. Hasil pengamatan perkawinan sapi perah dilakukan pada umur 18 bulan serta bobot badan 275 kg. Hasil pengamatan ini sesuai dengan teori yang biasanya untuk sapi dapat dikawinkan pada umur 18 bulan atau diperkirakan sudah mencapai dewas tubuh.

D. Manajemen Sapi Dewasa
1. Hasil Pengamatan
a. Sapi laktasi , produksi dan pemasaran susu :
1. Masa laktasi : 7 bulan
2. Masa kering: 2 bulan dan cara pengeringan dengan pemerahan berselang, 3 hari sebelum pengeringan hijauan dan konsentrat dihentikan.
3. Pemerahan
a. Menggunakan tangan/ manual
b. Frekuensi pemerahan 2 x sehari
c. Dilakukan di kandang
d. Proses pemerahan dengan meletakkan ibu jari dan jari telunjuk pada pangkal puting (sedikit memijat) sehingga air susu dari ambing mulai mengalir ke puting. Sebelum dilakukan pemerahan puting dibersihkan terlebih dahulu dengan air. Pemerah biasanya menggunakan vaselin dalam pemerahan agar putting lebih licin saat diperah.
4. Pemerah secara berkala memeriksa kesehatannya dan memperoleh surat kesehatan dari dokter: tidak karena dalam pemeriksaan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan pemerah juga tidak pernah sakit.
5. Produksi susu rata-rata: total per hari 140 liter (pagi 100 liter, dan sore 40 liter), dengan perincian tiap sapi laktasi menghasilkan 5-7 liter per hari.
6. Pengeringan
Dilakukan dengan cara pemerahan berselang selama 2 bulan, apabila tidak dilakukan maka produksi susu pada periode berikutnya akan turun.
7. Pengafkiran sapi perah dilakukan apabila produksi susunya sudah rendah yaitu 3 liter/hari dan apabila sapi sakit dan sulit diobati. Apabila sapi sudah afkir sapi tersebut dijual.
8. Tidak dilakukan penanganan susu pasca pemerahan secara khusus hanya disaring terlebih dahulu baru dipasarkan.
9. Sebelum sampai ke tangan konsumen, susu tidak mengalami penyimpanan, langsung dipasarkan. susu diusahakan habis
10. Pemasaran susu;
a. Konsumen: masyarakat umum dan pedagang susu yang langsung mendatangi peternakan, dan dijual ke Pasar Gede.
b. Produk susu yang dipasarkan : susu segar belum dimasak.
c. Kemasan susu berupa kantong plastik dan jerigen.
d. Harga susu Rp 4500,00 / liter.
e. Transportasi susu menggunakan sepeda motor.
f. Jarak yang ditempuh sampai ke tangan konsumen yang terdekat adalah ± 1 km dan yang terjauh ± 8 km.
g. Pemeriksaan kualitas susu dilakukan oleh dinas secara periodik setiap 8 kali/ bulan.
b. Sapi birahi, perkawinan, bunting dan kelahiran
1. Deteksi birahi oleh: pemilik, karyawan, dan petugas dinas.
2. Perkawinan sapi
a. Perkawinan sapi dara pertama pada umur 18-24 bulan.
b. Rata-rata sapi dara beranak pertama kali pada umur 32-38 bulan
c. Cara perkawinan dengan IB dan perkawinan alami. Pada sapi dara yang pertama kali dikawinkan dilakukan dengan IB dan perkawinan selanjutnya dengan perkawinan alami. Cara mendapatkan layanan IB adalah dengan mengirimkan pesan ke pos IB.
d. Cara penetapan kebuntingan dengan pengamatan ulang birahi oleh karyawan.
e. Perkawinan kembali setelah melahirkan/ partus: 18 hari.
f. Kegagalan perkawinan pernah terjadi karena terjadi keguguran.
g. Kelahiran pedet ditangani sendiri oleh pemilik dan karyawan.
h. Pernah terjadi kasus distokia dan langsung ditangani oleh pemilik dan karyawan sendiri.

Gambar 4. Foto Sapi Dewasa di Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
Pada perusahaan Umbul Jaya jenis sapi yang dipelihara adalah sapi perah jenis peranakan Friesian Holstein (PFH). Masa laktasi dari sapi-sapi tersebut sekitar + 7 bulan tetapi secara umum masa laktasi dari sapi perah yaitu + 305 hari hal ini disebabkan karena sapi-sapi yang dikawinkan kembali setelah partus dan sapi mengalami kebuntingan memasuki masa kering. Dengan masa laktasi yang relatif agak cepat, maka produksi susu pertahun tidak begitu tinggi. Dalam memelihara sapi perah harus dilakukan pengeringan. Menurut Williamson dan Payne (1993), pengeringan adalah menghentikan pemerahan sapi selama 6 – 8 minggu menjelang melahirkan kembali, masa kering adalah sangat penting bagi setiap induk yang pernah melahirkan dan berproduksi susu pada periode berikutnya akan berkurang. Masa kering yang dilakukan di perusahaan Umbul Jaya yaitu selama 2 bulan dengan pemerahan berselang.
Cara pemerahan yang dilakukan setiap harinya dengan tangan dan langsung diperah dalam kandang. Pemerahan dilakukan 2 x sehari. Cara pemerahan dengan ini dengan perah jepit (stripping) yaitu puting diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk yang digeserkan dari pangkal puting ke bawah sambil memijat. Pemerah yang bekerja di perusahaan tidak pernah memeriksa kesehatannya karena dalam pemeriksaaan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak sedikit padahal dalam usaha produksi sapi perah juga membutuhkan biaya yang cukup banyak. Sehingga dapat menekan biaya, tetapi pemerah harus benar-benar dalam kondisi yang bersih dan sehat baik saat memerah maupun mengolah susu. Produksi susu rata-rata perusahaan tiap hari sebesar + 140 liter, sehingga produksi rata-rata per ekor per hari sebesar + 5-7 liter. Sapi yang produksinya cukup rendah dan usianya sudah tua, maka akan diafkir yaitu dengan menjual sapi tersebut. Susu yang dihasilkan tidak memperoleh perlakuan khusus hanya disaring saja dan tidak mengalami penyimpanan langsung dijual pada konsumen. Sasaran konsumennya sebagian besar masyarakat umum dan pedagang susu atau dijual ke Pasar Gede. Kemasan yang digunakan cukup sederhana yaitu berupa kantong plastik dan jerigen, harga jualnya sebesar Rp 4.500/liter dan dalam penjualan susu menggunakan sepeda motor. Jarak tempuh untuk pemasaran susu biasanya antara lingkungan sekitar sampai + 8 km. Kualitas susu itu sendiri selalu diperiksa kualitasnya secara periodik setiap 8 kali/ bulan yang dilakukan oleh dinas.
Waktu yang tepat untuk melakukan perkawinan yaitu pada saat betina dalam siklus birahi tepatnya saat estrus. Saat estrus dapat diketahui dari luar yang ciri-cirinya mencoba untuk saling menaiki, perubahan pada alat kelamin, gelisah, nafsu makan berkurang dan lain-lain. Sehingga tidak membutuhkan orang yang khusus untuk mengtahui sapi tersebut sedang birahi atau tidak hanya dilakukan pengamatan dari luar saja. Deteksi birahi yang dilakukan perusahaan Umbul Jaya oleh karyawan sendiri, perkawinan sapi dara yang pertama kali dilakukan pada umut + 1,5 tahun (18 bulan). Sehingga pada umur ± 32 bulan sapi tersebut sudah beranak. Perkawinan di Umbul Jaya dilakukan dengan IB dan perkawinan alami. Pada sapi dara yang pertama kali dikawinkan dilakukan dengan IB dan perkawinan selanjutnya dengan perkawinan alami. Cara penetapan kebuntingan dilakukan oleh buruh dengan pengamatan ulang birahi, kebuntingan akan diketahui apabila ternak tidak birahi lagi 3 – 4 minggu setelah perkawinan.
Perkawinan kembali dilakukan pada + 18 hari setelah sapi melahirkan/partus. Selang waktu ini kurang tepat karena jaringan alat reproduksi yang rusak akibat melahirkan kemungkinan belum benar-benar pulih kembali. Kegagalan perkawinan pernah terjadi yaitu karena saat kawin yang tidak tepat, keguguran karena ketidak suburan. Selang waktu yang tepat adalah + 60-90 hari, sehingga calving interval antara kelahiran sapi pertama dengan perkawinan sapi kedua tidak terlalu lama.
Penanganan kelahiran pedet di perusahaan Umbul Jaya dilakukan oleh karyawan sendiri apabila proses kelahiran normal, tetapi apabila terjadi distokia atau kesulitan kelahiran, maka akan ditangani oleh mantri hewan setempat. Menurut Reksohadiprodjo (1995), distokia terjadi pada sapi-sapi yang berukuran besar seperti FH/PFH, sapi yang selalu dikurung, sapi yang dikawinkan saat usia muda, masa kebuntingan yang lama, kelahiran kembar, infeksi uterus, kematian fetus dan sebagainya. Keseluruhan ini memungkinkan terjadi distokia lebih besar. Secara jelasnya, distokia dipengaruhi oleh faktor genetik, tata laksana dan pakan, serta mungkin juga disebabkan oleh faktor-faktor lain dari induknya sendiri.

E. Manajemen Kesehatan
1. Hasil Pengamatan
a. Kebersihan Ternak
1. Frekuensi memandikan sapi: satu kali sehari
b. Memandikan sapi dilakukan pada saat : setelah pemerahan pagi
c. Bagian-bagian tubuh yang dibersihkan saat memandikan sapi: seluruh bagian-bagian tubuh
d. Penyakit, pencegahan dan pengobatan
1. Vaksinasi terhadap penyakit : Dilakukan oleh dinas peternakan
2. Penyakit yang pernah dialami :
a. Mastitis
b. Diare
c. Kembung
d. Milk fever
e. Penyakit mulut dan kuku (PMK)
3. Diagnosa dan pengobatan :
a. Dilakukan sendiri
b. Dilakukan oleh Mantri Hewan
4. Obat-obatan yang biasa digunakan :
a. Obat modern
- Obat dari mantri hewan
b. Obat tradisional
- Jamu
5. Pemeriksaan sapi oleh dinas : dilakukan enam bulan sekali

Gambar 5. Foto Pemerahan Susu di Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
a. Kebersihan Ternak
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa di perusahaan Umbul Jaya frekuensi memandikan sapi dilakukan sehari sekali yaitu sesudah pemerahan pagi dan dilakukan pada semua bagian tubuh sapi dengan cara disemprot dengan air melalui selang. Penyemprotan dilakukan mulai dari kepala sampai bagian belakang ternak dan dilakukan penyikatan. Sedangkan pembersihan kotoran dilakukan bersama-sama sebelum waktu pemerahan yaitu jam 03.40 WIB dan 12.00 WIB serta sore hari. Dengan frekuensi 3 kali sehari maka kebersihan kandang selalu terjaga dan sapi dapat merasa nyaman.
Sapi yang bersih tidak akan mudah terserang penyakit. Jika sapi terserang penyakit maka produksi susu akan menurun, contohnya sapi yang terserang abses hati yang menggangu sistem metabolisme tubuh yang erat hubungannya dengan produktivitas susu. Contoh lainnya adalah mastitis yang disebabkan oleh kuman yang terdapat pada ambing maupun puting yang kotor karena jarang dibersihkan sehingga susu yang dihasilkan tidak layak dikonsumsi (Akoso, 1996).
b. Penyakit, pencegahan dan pengobatan.
Pada setiap usaha pasti terdapat hambatan atau kendala yang dapat menggangu kelancaran kegiatan produksi, tak terkecuali pada perusahaan sapi perah. Salah satu kendala adalah mengenai kesehatan sapi yang kadang terganggu. Di Umbul Jaya penyakit yang sering menyerang sapi adalah mastitis, kembung dan diare. Penyakit ini biasanya didiagnosa oleh pihak perusahaan sendiri, karena pemilik peternakan itu telah hafal tanda tanda suatu ternak terserang penyakit karena pemilik sapi tersebut telah mempunyai pengalaman memelihara sapi sudah cukup lama. Meskipun sapi terkadang diserang penyakit, pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi oleh Dinas Peternakan dilakukan setiap 6 bulan sekali. Namun apabila ada tanda-tanda suatu penyakit yang tidak dapat ditanggulangi oleh peternak sendiri barulah pemilik peternakan tersebut memanggil mantri hewan.
Penyakit yang sering terjadi adalah mastitis, kembung dan diare. Menurut Akoso (1996), mastitis adalah suatu peradangan pada ambing yang bersifat akut, subakut atau menahun dan terjadi pada semua jenis mamalia. Pada sapi, penyakit ini sering dijumpai pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman atau mikoplasma. Radang kelenjar susu ditandai dengan adanya peradangan pada saluran-saluran kelenjar susu, perubahan fisik dan kimiawi dari air susu.
Untuk pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan cara :
a. Karena penularan penyakit ini melalui puting susu maka untuk mencegah timbulnya penyakit ini harus diperhatikan cara pemerahan sapi, yaitu sebelum diperah sapi dibersihkan dulu dan cara memerahnya harus benar-benar higienis.
b. Menghindari kemungkinan adanya hal-hal yang dapat menyebabkan luka pada ambing atau puting susu baik melalui cara pemerahan maupun adanya lantai kandang yang dapat menyebabkan luka.
c. Menjaga kebersihan kandang dan alat-alat untuk pemerahan susu.
d. Pengobatan :
1. Mastitis yang akut :
a. Suntikan Procain penicillin G + Dihydrostreptomycin 2 cc/100 kg berat badan setiap hari.
b. Sulfamethazine 120 mg/kg berat badan per os (melalui mulut) dilanjutkan dengan 60 mg/kg berat badan tiap 12 jam selama 4 hari.
2. Mastitis yang kronis :
Diberikan Penicillin mastitis ointment, chlortetracycline ointment, atau oxytetracycline mastitis ointment.
Penyakit lain yang sering terjadi adalah kembung, diare dan milk fever. Milk fever disebabkan oleh faktor pakan yang kandungan nutrisinya tidak cukup baik untuk mendukung pembentukan air susu dalam jumlah yang banyak. Kembung biasanya disebabkan karena pergantian jenis pakan sehingga sapi belum dapat beradaptasi dengan jenis pakan tersebut dan terkadang hal ini juga menyebabkan diare. Untuk diare peternak biasanya melakukan penanggulangan dengan cara memberikan sapi dengan jamu namun apabila diare tidak segera sembuh maka dipanggilkan mantri hewan. Biasanya dari peternak hal ini tidak menjadi masalah dan penyakit mulut dan kuku serta kemajiran dan keguguran.
Menurut Ressang (1986), tanda tanda bagi sapi yang terkena penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah gejala sakit seperti umumnya dan selama beberapa hari menderita demam diatas 40oC, nafsu makan turun, rahang bergerak seolah – seolah mengunyah atau rahang bawah gemetar kemudian terlihat pengeluaran air liur berlebih, hidung berkoreng dan sering berdecap serta produksinya menurun.
Virus PMK sangat mudah sekali menular melalui udara. Menurut Subronto (1989), Virus ini memiliki sifat stabil dalamlingkungan terbuka untuk jangka waktu yang cukup lama, yang kemudian disebarkan secara aerosol. Terutama bila kelembaban udara melebihi 70 oC dan suhu udara dingin. Untuk melakukan pengendalian maka dilakukan pemotongan paksa, memperkuat arus lalu lintas ternak, dilakukan penutupan daerah dan vaksinasi masal dengan vaksin sub tipe virus yang sama dengan penyebab wabah. Untuk penyakit Mulut dan Kuku pada perusahaan sapi perah Umbul Jaya cara mengatasinya yaitu dengan di potong lalu di bakar.
Untuk menjaga kesehatan sapi-sapinya peternak juga sering memberikan obat tradisional yang berasal dari temu hitam, daun papaya, dan tempe busuk. Cara pembuatannya adalah 1 kg temu hitam ditambah 5 lembar daun papaya dan 6 bungkus tempe busuk. Semua bahan ditumbuk dan didiamkan selama semalam kemudian pagi harinya diberikan kepada sapi. Cara pemberiannya yaitu dengan membungkus jamu tersebut dengan daun pisang kemudian diberikan pada sapi. Pemberian jamu tersebut bertujuan untuk meningkatkan nafsu makan, dan dapat menanggulangi berbagai macam penyakit.

F. Kandang dan Peralatan
1. Hasil Pengamatan
a. Kandang
1. Letak kandang : dekat dengan bangunan lain.
2. Atap kandang berupa : genting.
3. Lantai kandang terbuat dari : semen.
4. Kondisi lantai : berlubang – lubang / becek
5. Ketinggian lantai dengan tanah di sekitarnya : lebih rendah.
6. Kemiringan lantai : cukup miring.
7. a. Aliran air : mengalir baik.
b. Kotoran cair dibuang/disalurkan ke : sungai
8. a. Gang di antara dua jajaran kandang : lebar 1 sampai 2 m
b. Kebersihan gang : bersih.
9. Ventilasi kandang : cukup
10. a. Keberadan lalat dalam kandang dan sekitarnya : tidak ada/ jarang.
b.Bau dalam kandang dan sekitarnya : berbau, masih dalam batas normal
11. Penerangan kandang : listrik dan cukup terang.
12. Kepadatan ternak dalam kandang : kurang dari 2 × 1,5 m/ekor
13. Kandang khusus :
a. Kandang beranak : ada.
b. Kandang pedet : ada
c. Kandang karantina : tidak ada.
d. Kandang pejantan : ada
e. Kandang kawin : tidak ada.
b. Peralatan
1. Tempat pakan dan minum :
a. bersih
b. tersedia cukup
2. a. Ember penampung susu, terbuat dari : plastik
b. Kebersihan ember : bersih.
3. a. Wadah susu / milk can terbuat dari : aluminium
b. Kebersihan milk can : bersih dan tidak berbau
c. Kondisi milk can : baik, tidak berkarat
4. a. Botol susu terbuat dari : plastic / mika berwarna
b. Mulut botol susu : sempit
c. Tutup botol susu terbuat dari : plastik
d. Kebersihan botol susu : bersih
5. Alat penyaring susu terbuat dari : lainnya, saringan plastik
6. Peralatan lain yang dimiliki :
No Nama alat Kondisi Kebersihan
1 Saringan plastik Baik Bersih
2 Corong plastik Baik Bersih
3 Jerigen Baik Bersih
4 Gelas ukur Baik Bersih

Gambar 6. Foto Peralatan Kandang di Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
a. Kandang
Usaha sapi perah merupakan salah satu sektor peternakan yang terus berkembang mengarah pada efisiensi, produksi dan mutu hasil yang semakin tinggi. Salah satu faktor penting yang dinilai ikut berperan adalah yang menyangkut kesejahteraan ternak, khususnya kandang atau ruang pemeliharaan. Dalam perkembangan konsep-konsep modern dan pelaksanaannya dalam manajemen industri persusuan ikut mempengaruhi perkembangan pola-pola dan desain kandang sapi perah sebagai suatu tuntutan. Peran penting kandang terus meningkat. Pengembangan sistem kandang modern didorong oleh kawanan ternak yang semakin besar, produksi per sapi yang meningkat, serta mekanisasi dan otomatisasi dalam cara pemberian pakan dan pemerahan susu.
Salah satu hal yang penting dalam mendukung kesuksesan beternak adalah tersedianya kandang. Kandang merupakan bangunan yang digunakan ternak untuk melindungi dari gangguan luar yang merugikan, yaitu sinar matahari, kedinginan, kehujanan maupun tiupan angin yang sangat kencang, sehingga ternak merasa aman dan nyaman. Sapi perah harus selalu diawasi dan dilindungi dari aspek-aspek lingkungan yang sekiranya merugikan (AAK, 1995). Oleh karena itu peternak sapi perah harus dapt menyediakan bangunan kandang yang dapat mengamankan sapi dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.
Lokasi kandang pada peternakan sapi perah “Umbul Jaya“ ini letaknya berdekatan dengan bangunan penunjang yaitu tempat penyaringan susu, kamar mandi, penyimpanan pakan dan hijauan, kamar karyawan dan kantor. Hal ini sangat membantu dalam pengelolaan sapi perah. Bangunan kandang terbuat dari semen atau tembok sebagai pembatas keliling kandang. Lokasi pemeliharaan sapi perah dikelilingi oleh pembatas tembok dengan tinggi 2,5 m.
Menurut Subagyo (2008) lantai terbuat dari bahan yang tidak mudak rusak, biasanya lantai kandang dibuat berupa:
• Lantai Padat dimana lantai terbuat dari semen yang diperkeras dan terdiri dari paving.
• Lantai Panggung, lantai ini terbuat dari kayu dan antara kayu papan satu dengan yang lain dibuat celah.
Lantai kandang terbuat dari bahan semen, tetapi kondisi lantai kandang sapi pada peternakan “Umbul Jaya“ berlubang dan banyak tambalan, sehingga dapat menyebabkan genangan air. Kemiringan lantai 5 cm, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan air mengalir dengan lancar.dan mudah dalam pembersihan kandang. Menurut AAK (1995), lantai yang rata dan tidak tajam akan membuat sapi dapat berdiri tegak, berbaring secara bebas dan nyaman. Lantai yang kasar dan tajam akan menimbulkan kulit lecet sehingga mudah dimasuki kuman ke dalam tubuh sapi. Sebaliknya lantai yang licin akan menyebabkan sapi mudah terpeleset.
Atap kandang terbuat dari genteng karena harganya relatif lebih murah, tahan lama dan tidak terlalu menyerap panas. Menurut Anonimous (2009) bahan atap yang biasa digunakan adalah genting, seng, asbes, rumbai, alang- alang (ijuk). Untuk bahan genting biasanya menggunakan bahan yang mudah didapat dan harganya lebih efisien. Dari beberapa macam bahan yang bayak digunakan adalah genting, karena terdapat celah- celah sehingga sirkulasi udara cukup baik.
Aliran air dalam kandang dapat mengalir dengan baik, saluran airnya berfungsi dengan baik, tetapi kadang aliran tersumbat oleh kotoran ternak waktu mengalir pada saat pembersihan kandang. Kotoran sapi langsung mengalir dan dibuang ke sungai.
Menurut AAK (1995), Ventilasi adalah jalan keluar masuknya udara dari dalam kandang dan menggantikan udara segar dari luar. Pengaturan ventilasi diperusahaan sapi perah di “Umbul Jaya“ cukup baik, karena keberadaan lalat dalam kandang jarang dan tidak begitu berbau (masih dalam batas bau kandang).
Penerangan kandang kandang berasal dari listrik, tetapi kurang terang karena hanya sebuah lampu bohlam 10 watt untuk menerangi 4–6 sapi, sehingga tidak semua bagian kandang terang. Kepadatan kandang kurang dari 2 x 1,5 m, sehingga ternak tidak leluasa bergerak karena tempatnya terlalu terbatas.
Pada peternakan sapi perah “Umbul Jaya“ kandang khusus yang dimiliki adalah kandang beranak, kandang pedet dan kandang pejantan. Kandang beranak merupakan kandang yang digunakan untuk melahirkan. Soetarno (2003) menggungkapkan bahwa ditinjau dari fungsinya kandang sapih perah dapat dibedakan menjadi kandang induk, kandang pedet, kandang pejantan dan kandang isolasi. Masing-masing kandang tersebut memiliki ukuran dan konstruksi yang berbeda. Kandang pedet yang digunakan dalam perusahaan “Umbul Jaya“ dulunya adalah kandang karantina. Kandang tersebut tidak digunakan karena ternak yang sakit hanya sedikit dan buasanya hanya ditempatkan di luar kandang tepatnya di sebelah barat kandang
b. Peralatan
Peralatan kandang merupakan alat-alat kandang yang secara langsung mendukung dalam pengelolaan ternak. Peralatan yang dimiliki oleh perusahaan “Umbul Jaya“meliputi tempat pakan dan minum, ember penampung susu, wadah susu, alat penyaring susu, dan peralatan lainnya.
Ember penampung susu terbuat dari plastik dan dalam kondisi bersih, karena setiap pemakaiannya sebelum dan sesudahnya selalu dibersihkan, sehingga susu juga bersih dan tidak berbau. Wadah susu yang digunakan terbuat dari bahan alumunium yang bersih dan tidak mudah berkarat, sehingga susu yang belum dipasarkan tidak berbau.
Botol susu yang digunakan untuk memasarkan susu adalah jerigen dan plastic yang bersih dengan mulut jerigen yang sempit yang dilengkapi dengan tutup berupa plastik yang diikat dengan karet. Susu yang belum dipasarkan dilakukan penyaringan terlebih dahulu menggunakan penyaring susu yang terbuat dari plastik yang biasa digunakan untuk menyaring santan atau yang lain. Hal ini dilakukan karena susu yang dihasilkan bersih dari kotoran dan rambut sapi yang ikut masuk.
Peralatan lain yang digunakan adalah corong plastik yang digunakan untuk memudahkan penuangan susu ke dalam botol susu. Selain itu digunakan pula gelas ukur yang berukuran satu liter yang digunakan untuk menakar susu yang akan dipasarkan. Hal ini dimaksudkan agar kecurangan dalam takaran susu dapat dihindari. Semua peralatan yang dimiliki dalam kondisi baik dan bersih.

G. Kamar Susu, Perlengkapan dan Perlakuan Susu
1. Hasil Pengamatan
a. Kamar susu tidak ada
b. Perlengkapan susu
1. Meja tempat susu terbuat dari kayu
2. Keadaan tempat meja bersih
3. Tempat pencucian alat-alat susu dilantai dan ember
4. Jarak tempat pencucian dengan kandang menempel
5. Alat yang digunakan untuk mencuci sikat dan selang semprot
6. Terjaga kebersihan alat-alat susu dan dilakukan pencucian sebelum dan sesudah pemerahan
7. Pengeringan dengan diangin-anginkan dan tidak dibilas dengan air hangat
8. Jarak sumber air (sumur) dengan tempat feses lebih dari 8 meter
9. Air jernih, tidak berbau dan ketersediaannya melimpah
10. Sumber air yang digunakan untuk mencuci alat-alat susu berasal dari sumur gali
c. Antiseptik dan desinfektan yang tersedia sabun yang digunakan untuk membersihkan peralatan dan untuk mencuci tempat penampungan susu.

Gambar 7. Foto Perlengkapan Susu
2. Pembahasan
Sapi perah dipelihara dengan tujuan untuk diambil produksi susunya. Untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan susu, maka susu harus dikelola dengan baik. Suatu produk susu yang steril mempunyai beberapa ciri yang menarik, yaitu tidak membutuhkan penyimpanan dalam lemari es, serta dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama (Pelczara dan Chan, 1988). Kebersihan peralatan dan perlengkapan susu harus selalu terjaga, para pekerja dan sapi itu sendiri harus dijaga pula kebersihannya. Sebaiknya susu dimasukkan ke kamar susu sebelum dilakukan pengiriman kekonsumen agar susu tidak tercemar oleh kotoran atau bakteri yang dapat merusak rasa, bau maupun warna asli susu.
Dalam suatu perusahaan sapi perah sebuah kamar susu mutlak diperlukan, apakah sapi diperah dengan tangan atau dengan mesin. Jika sapi diperah dengan tangan atau diperah mesin dengan penampungan tersendiri, maka diperlukan sebuah kamar yang menempel dengan kamar perah, demikian juga dengan alat-alat yang berhubungan dengan tempat penyimpanan susu (Williamson dan Payne, 1993). Di perusahan sapi perah Umbul Jaya tidak menggunakan kamar susu karena susu setelah diperah langsung disetorkan pada penjual atau pengepul susu di pasar, dan ada juga yang langsung diambil oleh tengkulak. Namun sebagai gantinya dibuatkan tempat khusus untuk penampungan susu dan tempat peralatan susu. Dimana disitu terdapat meja untuk alat-alat susu dengan kondisi kebersihan yang terjaga.
Kebersihan tempat dan peralatan yang dipakai dapat mempengaruhi kebersihan dan kesehatan susu. Peralatan yang kotor dapat mempercepat proses susu, karena banyaknya mikroorganisme yang ada pada peralatan yang kotor tersebut. Air yang masih menempel pada peralatan yang digunakan untuk menampung susu juga dapat mempengaruhi kemurnian susu karena air akan bercampur dengan susu sehingga susu menjadi lebih encer.
Pencucian alat dilakukan sebelum dan setelah pemerahan untuk menjaga agar tidak ada mikroorganisme yang masih tertinggal. Pencucian dilakukan dilantai plester dengan air yang mengalir terus, dimana air tersebut diperoleh dari sumur gali. Untuk kotoran pada alat yang sulit hilang biasanya dilakukan penyikatan dan pembilasan dengan selang.
Penggunaan air sangat dituntut kebersihannya, sumur berjarak lebih dari 8 meter dari tempat penampungan feses, kondisi air jernih dan tidak berbau. Dengan jarak yang jauh dari penampungan feses, dapat terjamin kebersihan serta kondisi air tetap terjaga. Air minum yang diberikan apabila sudah tidak terkonsumsi dapat juga digunakan untuk menyiram atau membersihkan feses.
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit dan virus-virus yang ada biasanya dilakukan pembersihan lantai tempat penampungan susu dan peralatan-peralatan yang digunakan untuk menampung susu. Ini dilakukan agar tetap terjaganya kondisi tempat yang steril, serta penanggulangan masuknya bibit penyakit.
H. Penanganan Feses
1. Hasil Pengamatan
a. Penempatan kotoran / feses : disemprot dan masuk pada saluran air, lalu dialirkan ke sungai
b. Pemanfaatan feses / kotoran sapi : tidak dimanfaatkan (dibuang)
c. Pemprosesan kotoran sapi : tidak diproses

Gambar 8. Foto Penampungan Feses Sementara di Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
Kotoran sapi (feses) ataupun ternak lainnya sering menimbulkan benturan dengan kepentingan orang lain. Disatu pihak kita sedang menggalakkan peternakan untuk dapat menghasilkan produk secara maksimal baik kualitas maupun kuantitasnya, dilain pihak akan mendapatkan protes dari penduduk sekitarnya. Jika penanganan feses tidak dilakukan secara baik, karena adanya pencemaran yang timbul dari kotoran ternak tadi.
Peternakan “Umbul Jaya” ini merupakan peternakan skala kecil yang lokasinya tidak jauh dari lokasi pemukiman penduduk. Bahkan rumah peternaknya sendiri berada dilokasi peternakan. Dengan adanya lokasi peternakan yang dekat dengan pemukiman penduduk, maka pencemaran lingkungan pun tidak dapat dihindari. Pengambilan kotoran ternak sapi perah biasanya dilakukan pada pagi dan siang hari. Menurut Setiawan (1996), pengambilan kotoran di pagi dan siang hari ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu segera tercipta lingkungan yang bersih dan pemerahan susu dilakukan pada kondisi lingkungan yang bersih sehingga kebersihan susu lebih terjamin.
Kotoran sapi perah di “Umbul Jaya” ditempatkan ke lubang penimbunan dengan cara mengguyur atau menyiram kotoran sapi tersebut dengan air ke arah parit yang kemudian ditempatkan ke lubang penimbunan. Cara pengambilan kotoran sapi perah yaitu dengan cara mengguyur feses yang berserakan dengan air keparit, selanjutnya saluran itu digiring ke suatu bak penampungan. Setelah itu, kotoran ini diambil dengan sekop untuk dimasukkan ke tempat penampungan. Kotoran sapi perah di “Umbul Jaya” ini tidak dimanfaatkan oleh peternaknya kotoran yang ada pada lubang penimbunan, langsung dibuang ke sungai tanpa dilakukan pemrosesan lebih dulu, karena memang peternakan ini bersebelahan dengan sungai yang cukup besar. Penanganan feses yang kurang baik akan menganggu dan menimbulkan pencemaran daerah sekitarnya. Untuk mengurangi resiko pencemaran lingkungan, peternak dapat memanfaatkan kotoran ternak tersebut untuk hal yang bermanfaat, misalnya diolah menjadi pupuk.
Menurut Sudono et al., (2003), pengolahan limbah sapi menjadi kompos jika dilakukan dengan benar maka akan menghasilkan pendapatan tambahan. Dengan dimanfaatkannya kompos dari ternak sapi perah, maka peternak itu sendiri akan memperoleh keuntungan yaitu dapat mengurangi resiko pencemaran lingkungan karena ternyata dapat ditangani dan keuntungan akan diperoleh dari pemanfaatan kotoran ternak tersebut.



I. Hambatan / Kendala Usaha
1. Hasil Pengamatan
a. Administrasi dan SDM Perusahaan
Sumber daya manusia di peternakan Umbul Jaya, mayoritas berpendidikan sekolah menengah, pengelolaan administrasi berdasarkan pengalaman.
b. Mutu Genetis Ternak
Mutu genetis cukup baik, walaupun ada juga genetis yang kurang baik. Apabila mutu genetis ternak kurang baik, maka sapi tersebut masih bisa ditangani akan dipelihara, jika tidak bisa ditangani oleh peternak maka sapi akan dijual.
c. Pakan
Pakan yang digunakan diperoleh dari membeli, harga yang cukup mahal sangat mempengaruhi biaya produksi.
d. Produksi Susu
Produksi susu yang sangat minim membuat produk susu langsung diedarkan ke konsumen sehingga tidak melalui penyimpanan atau pendinginan.
e. Reproduksi Ternak
Reproduksi pada ternak sapi-sapi di Umbul Jaya berjalan baik, di samping perkawinan dilakukan secara alami dengan 4 pejantan yang ada (1 pejantan dewasa dan 1 pejantan yang belum bisa mengawini). Dalam perkawinan alami tidak ada hambatan, hanya pada keberhasilan perkawinan tergantung pada pengawasan pekerja dan pemilik perusahaan. Pengamatan kebuntingan masih dilakukan dengan cara melihat vulva dari luar, artinya tidak menggunakan deteksi lewat uterus sehingga sering terjadi kesalahan dan tidak semua pekerja dapat mendeteksi kebuntingan, hanya pemilik saja yang paham dalam hal mendeteksi kebuntingan. Perkawinan dilakukan secara inseminasi buatan dan perkawinan alami. Pada perkawinan buatan, pemilik perusahaan Umbul Jaya mengirimkan pesan kepada pos IB untuk mendapatkan straw sapi pejantan yang unggul.
f. Pemasaran Susu
Pemasaran susu terjadi pasang surut. Tidak memiliki pelanggan tetap. Pemasaran susu biasanya dilakukan dengan menjual ke Pasar Gede, serta dipasarkan di peternakan itu sendiri.
g. Penanganan Susu Pasca Pemerahan
Tidak ada penanganan lebih lanjut, susu langsung didistribusikan ke konsumen.
h. Kesehatan Ternak
Hambatan tentang kesehatan ternak yaitu penjagaan kesehatan hanya berdasarkan ketrampilan dari pengalaman (diawasi dan dipelihara oleh peternak). Jalan keluar yang ditempuh bila terjadi gangguan yang berkelanjutan adalah meminta bantuan pada mantri atau dokter hewan.
i. Pengembangan Usaha dan Issue Pencemaran Lingkungan
Mahalnya biaya produksi membuat perkembangan usaha menjadi lambat. Tidak ada keluhan dari masyarakat tentang pencemaran limbah sekitar, karena pemilik perusahaan menjalin hubungan baik dengan masyarakat.


Gambar 9. Foto Aliran Feses di Perusahaan Umbul Jaya
2. Pembahasan
a. Administrasi dan SDM Perusahaan
Dalam mengurusi dan penanganan administrasi, perusahaan sapi perah Umbul Jaya tidak mengalami hambatan, baik pada administrasi pemasaran, transportasi, penyediaan pakan maupun pengolahan limbah. SDM yang ada yaitu dengan 4 orang tenaga kerja sudah menyukupi dan dapat mengoptimalkan kerjanya. Perusahaan sapi perah Umbul Jaya merasa sudah memiliki manajemen administrasi dan SDM yang sudah cukup baik.
b. Mutu Genetis Ternak
Ternak sapi perah di Umbul Jaya merupakan ternak hasil peranakan sendiri yang dihasilkan dari persilangan pada sapi-sapi di Umbul Jaya sendiri. Sehingga resiko adanya inbreeding akan muncul maka akan menurunkan mutu genetis ternak tersebut. Cara yang tepat yaitu dengan melakukan IB dan menggunakan sapi perah yang unggul dari luar daerah sehingga akan didapatkan mutu genetis ternak yang lebih baik. Mutu genetis ternak cukup baik. Jarang terjadi kelainan mutu genetis, apabila terjadi kelainan mutu genetis maka jika masih dapat ditangani akan tetap dipelihara, tetapi jika peternak tidak bisa menangani maka sapi akan dijual.
c. Pakan
Peternakan Umbul Jaya tidak memiliki hambatan dalam penyediaan pakan, baik pakan konsentrat maupun hijauan, karena dalam penyediaan pakan sudah direncanakan secara matang oleh pemilik perusahaan. Pakan konsentrat yang diberikan disusun sendiri berupa campuran dari bekatul, ampas bir, ampas singkong, dan garam. Pakan hijauan berupa rumput gajah, rendeng, dan tebon jagung. Ampas bir yang digunakan merupakan limbah produksi pabrik bir di Tangerang. Sedangkan, untuk hijauan berupa rumput gajah (Pennisetum purpureum) dipesan dari Boyolali. Ketersediaan pakan di perusahaan tersedia secara kontinue, sehingga perusahaan tidak pernah kehabisan atau kekurangan stok pakan sehingga tidak pernah dilakukan pengadaan pakan pengganti. Pada waktu kemarau hijauan sulit didapatkan, karena harga kian melonjak maka pakan hijauan yang berupa rumput gajah diganti dengan tebon jagung atau bungkil jagung. Untuk mengatasi jika harga konsentrat mahal, maka perbandingan pemberian diubah menjadi bekatul : ampas bir : ampas singkong, 1 : 3 : 3.
d. Produksi Susu
Peternakan Umbul Jaya mampu menghasilkan susu sebanyak 140 liter per hari dengan interval 2 kali pemerahan sehari terhadap sapi yang laktasi sebanyak 18 ekor. Produksi susu tersebut naik turun, karena tergantung dari cuaca, keadaan tersebut dapat diketahui dari makanan yang diberikan ke sapi. Produksi susu dari sapi-sapi tersebut dirasa kurang sebagai perusahaan penghasil susu di wilayah Solo sehingga perlu ditingkatkan, antara lain dengan penambahan jumlah sapi perah laktasi dengan mengawinkan sapi-sapi dara yang ada atau dengan membeli sapi jadi yang sudash laktasi.


e. Reproduksi Ternak
Reproduksi ternak sapi-sapi di Umbul Jaya berjalan baik, di samping perkawinan dilakukan secara alami dengan 4 pejantan yang ada (1 pejantan prasapih, 2 pejantan dewasa dan 1 pejantan dewasa). Pedet disapih ketika berumur  3–4 bulan dan disendirikan, untuk sapi-sapi dara dikandangkan dalam kandang koloni dan segera dikawinkan apabila sudah berahi. Penyediaan bibit sapi perah serta sapi laktasi tidak ada hambatan. Pada perkawinan alami tidak mengalami hambatan, tergantung pengawasan peternak yang mengawinkan.
f. Pemasaran Susu
Produk utama peternakan sapi perah Umbul Jaya berupa susu segar. Pemasaran susu dilakukan dengan menjual ke Pasar Gede, serta dipasarkan di peternakan itu sendiri. Yang menjadi permasalahan adalah kadang-kadang susu yang dipasarkan tidak semua dapat habis dalam waktu itu juga, sehingga ada susu yang tersisa. Sisa susu ini dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri. Untuk mengatasi permasalahan tersebut antara lain bisa dilakukan dengan memperluas lokasi pemasaran atau dengan menggunakan jasa loper yang bisa menjualkannya di warung-warung atau terminal-terminal.
g. Penanganan Susu Pasca Pemerahan
Susu hasil pemerahan langsung dimasukkan dalam milkcan. Sebelum digunakan untuk tempat susu milkcan telah dicuci terlebih dahulu dengan tujuan agar susu tidak terkontaminasi. Susu yang telah dimasukkan dalam milkcan langsung dipasarkan baik keluar maupun di dalam lingkungan perusahaan tersebut. Di perusahaan ini tidak dilakukan perlakuan pada susu lebih lanjut karena otomatis akan menambah biaya dan peralatan serta tenaga yang digunakan serta SDM yang kurang memadai.


h. Pemeriksaan Kesehatan Ternak
Pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan secara rutin setiap 6 bulan sekali. Penyakit yang menjangkit pada ternak mudah diatasi oleh peternak. Penyakit yang pernah terjadi atau pernah diderita oleh ternak adalah penyakit-penyakit ringan seperti kembung, masuk angin, dan mastitis. Diagnosa pada penyakit biasanya dilakukan sendiri oleh peternak, kadang juga dilakukan oleh mantri hewan ataupun dokter hewan.
i. Pengembangan Usaha dan Issue Pencemaran Lingkungan
Pengembangan usaha hanya dilakukan sebatas pembelian sapi-sapi baru baik berupa pedet maupun sapi dara dengan tujuan replacement sapi-sapi yang sudah tua. Lahan atau lokasi perusahaan masih memungkinkan untuk diperluas karena masih terdapat lahan kosong di sekitar kandang, namun hal ini tidak dilakukan. Tentang pencemaran yang diakibatkan oleh limbah yang dihasilkan oleh perusahaan tidak begitu ditanggapi oleh warga sekitar dengan alasan bahwa perusahaan sapi perah tersebut sudah berdiri bahkan jauh sebelum terdapat pemukiman penduduk, di samping itu limbah yang dihasilkan berupa feses ataupun urine sapi tidak begitu mengganggu warga sekitar perusahaan.

















VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Kandang pedet menggunakan Perusahaan sapi perah “ Umbul Jaya “ didirikan pada tahun 1960 dengan modal awal 5 ekor sapi perah PFH laktasi hingga kini berjumlah 48 ekor dan luas kandang + 400 m2.
2. Stuktur organisasi, job diskripsi dan jaminan kesejahteraan karyawan di perusahaan sapi perah “ Umbul Jaya “ tidak ada.
3. Lokasi perusahaan dan tata letak perkandangan cukup bagus.
4. Pemberian kolostrum pada pedet dilakukan setelah pedet dilahirkan sampai umur 7 hari selanjutnya diberi susu segar dari induk.
5. Kandang berlantai semen dengan sistem koloni dengan ukuran 5 x 6 m2.
6. Sapi dara adalah sapi yang berumur 9 bulan sampai dengan sapi itu beranak pertama kali.
7. Sapi dewasa dicapai pada umur 15 – 18 bulan.
8. Masa laktasi sapi perah adalah + 7 bulan.
9. Rata-rata produksi susu total / hari : 140 liter, sedang perekor/hari adalah 5-7 liter.
10. Pemasaran susu langsung ke konsumen tanpa mendapatkan perlakuan.
11. Pemandian ternak dilakukan 1 kali sehari pada pagi hari sebelum dilakukan pemerahan.
12. Penyakit yang pernah dialami adalah mastitis, diare, dan kembung.
13. Pemeriksaan kesehatan dilakukan secara perioik oleh dinas setiap 6 bulan sekali.
14. Peralatan kandang adalah tempat pakan dan air minum, ember penampung susu, wadah susu, alat penyaring susu dan peralatan tambahan meliputi; sapu lidi, pemotong rumput, keranjang rumput, selang air, sikat, garuk, cangkul, dan timbangan.
15. Kamar susu berfungsi untuk menyimpan dan mengelola susu sebelum dipasarkan.tetapi disini belum dimanfaatkan.
16. Kotoran ternak belum dimanfaatkan.

B. Saran
1. Waktu pelaksanaan praktikum hendaknya lebih lama
2. Penanaman hijauan hendaknya dilakukan untuk efisiensi biaya.
3. Penangan feses hendaknya dilakukan, apabila tidak mampu hendaknya bekerja sama dengan instansi atau mahasiswa agar tidak menjadi permasalahan dikemudian hari.





























DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1982. Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
____. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius.Yogyakarta.
____. 2009. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. http://books.google.co.id/
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.
Akoso, Budi Tri. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.
Girisonta, D. P. 1974. Ternak Umum. Kanisius. Semarang.
Gunawan, D Pamungkas., L. Affandi. 1992. Potensi Produktivitas dan Nilai Ekonomi Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.
Hardjopranjoto. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Erlangga University Press. Surabaya
Jauhari, S. Ahmad. 1986. Pengelolaan Tinja Ternak. Poultry Indonesia. PT Surya Prabha. No 8. Pp 18.
LPPS. 1972. Makanan Ternak. Nusa Indah. Flores.
Mangkoewidjodjo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Nur, K.S. 2004. Mengupayakan Usaha Sapi Perah Tetap Bertahan. Poultry Indonesia. Gappi. No 291. Pp 64-65.
Pane, I. 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia. Jakarta.
Partodiharjo, Soebadi. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara. Jakarta.
Pelczara dan Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Rasyaf, Muhammad. 1996. Memasarkan Hasil Peternakan. Swadaya. Jakarta.
Reksohadiprojo, S. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik Edsi 2. BPFE. Yogyakarta.
_____________________. 1995 Pengantar Ilmu Peternakan Tropik Edisi 2. BPFE. Yogyakarta.
Ressang, A.A. 1986. Penyakit Viral Pada Hewan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Santosa, U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya. Jakarta
Sasongko, Ribut. 1986. Sanitasi dan Kesehatan Sapi Perah. Poultry Indonesia. PT Surya Prabha. No 75. Pp 58.
Sasono et al.,. 2009. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. http://books.google.co.id/perkandangan_sapi_perah
Sasse, Ludwig. 1992. Pengembangan Energi Alternatif Biogas dan Pertanian Terpadu di Boyolali Jawa Tengah. LPTP Solo dan BERDA Jerman. Solo.
Setiawan, Ade Iwan. 1996. Manfaat Kotaran Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, S. 1992. Sapi Perah Jenis, Teknis Pemeliharaan Dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya. Jakarta
Soetarno, Timan. 2000. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
_____________. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Soeyanto, T. 1981. Intensisifikasi Peternakan. Yudhistira. Jakarta.
Subagyo, YBP. 2008. Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Subronto. 1993. Ilmu Penyakit Ternak I. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta
Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Trobos. 2001. Fine Compost Lebih Irit dan Menguntungkan. Trobos no 24/ tahun 11. Jakarta.
Williamson. G dan W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. UGM Press. Yogyakarta.
___________________________. 1995. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

.