cara menguji
kualitas daging:
Uji organoleptik atau uji indera atau uji
sensori merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai
alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk.
Cara-cara
pengujian organoleptik dapat digolongkan dalam beberapa kelompok:
- Kelompok Pengujian Pembedaan (Defferent Test)
Pengujian
pembedaan digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau
organoleptik antara dua sampel. Meskipun dapat saja disajikan sejumlah sampel,
tetapi selalu ada dua sampel yang dipertentangkan.
Uji ini
juga dipergunakan untuk menilai pengaruh beberapa macam perlakuan modifikasi
proses atau bahan dalam pengolahan pangan suatu industri, atau untuk mengetahui
adanya perbedaan atau persamaan antara dua produk dari komoditi yang sama..
Keandalan (reliabilitas) dari uji pembedaan ini tergantung dari pengenalan sifat
mutu yang diinginkan, tingkat latihan panelis dan kepekaan masing-masing panelis.
- Kelompok Pengujian Pemilihan/Penerimaan (Preference Test/Acceptance Test)
Uji
penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau qualitas suatu bahan yang menyebabkan orang
menyenangi. Pada uji ini panelis
mengemukakan tanggapan pribadi yaitu kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau
tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensoris atau qualitas yang
dinilai. Uji penerimaan lebih subyektif dari uji pembedaan.
Tujuan
uji penerimaan ini untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik
tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Uji ini tidak dapat untuk meramalkan
penerimaan dalam pemasaran. Hasil uji yang menyakinkan tidak menjamin komoditi
tersebut dengan sendirinya mudah dipasarkan
Uji
penerimaan ini meliputi :
a) Uji
kesukaan atau uji hedonik : pada uji ini
panelis mengemukakan tanggapan
pribadi suka
atau tidak suka, disamping itu juga mengemukakan tingkat
kesukaannya.
Tingkat kesukaan disebut juga skala hedonik. Skala hedonik
ditransformasi
ke dalam skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat
kesukaan.
Dengan data numerik tersebut dapat dilakukan analisa statistik.
b) Uji mutu
hedonik : pada uji ini panelis menyatakan kesan pribadi tentang baik
atau buruk
(kesan mutu hedonik). Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari
kesan suka atau tidak suka, dan dapat bersifat lebih
umum.
- Kelompok Pengujian Skalar
Pada pengujian skalar panelis
diminta untuk memberikan kesan berdasar skala numerik atau skor.
- Kelompok Pengujian Diskripsi
Pada
uji ini banyak sifat sensorik dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan
sehingga dapat menyusun mutu sensorik secara keseluruhan. Sifat sensorik yang
dipilih sebagai pengukur mutu adalah yang paling peka terhadap perubahan mutu
dan yang paling relevan terhadap mutu.
2. penyembelihan berhubungan dengan
kualitas daging:
Hewan setelah
disembelih, proses awal yang terjadi pada daging adalah pre rigor. Setelah
hewan mati, metabolisme yang terjadi tidak lagi sabagai metabolism aerobik tapi
menjadi metabolism anaerobik karena tidak terjadi lagi sirkulasi darah ke
jaringan otot. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat yang semakin
lama semakin menumpuk. Akibatnya pH jaringan otot menjadi turun. Penurunan pH
terjadi perlahan-lahan dari keadaan normal (7,2-7,4) hingga mencapai pH akhir
sekitar 3,5-5,5. Sementara itu jumlah ATP dalam jaringan daging masih relatif
konstan sehingga pada tahap ini tekstur daging lentur dan lunak. Jika ditinjau
dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase prerigor ini
mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase postrigor.
Daging pada fase
prerigor. Hal ini disebabkan pada fase ini hampir 50% protein-protein daging yang larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al, 1975). Karakteristik ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya. Mengingat pada sistem emulsi
dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk berperan sebagai emulsifier. Tahap selanjutnya yang dikenal sebagai tahap rigor mortis. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur
pada daging. Jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami crosslinking. Kekakuan yang terjadi juga dipicu terhentinya respirasi sehingga terjadi perubahan dalam struktur jaringan otot hewan, serta menurunnya jumlah adenosine triphosphat (ATP) dan keratin phosphat sebagai penghasil energy (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Jika penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan
kelenturan otot. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energy yang dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi reticulum sarkoplasma sebagai pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca di sekitar miofilamen serendah mungkin. Akibatnya, terjadi pembebasan ionion Ca yang kemudian berikatan dengan protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin). Proses ini ditandai dengan terjadinya pengerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari 0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna. Daging menjadi keras dan kaku. Keadaan rigor mortis yang menyebabkan karakteristik daging alot dan keras memerlukan waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk kembali.
Melunaknya kembali tekstur daging menandakan dimulainya fase post rigor atau pascarigor. Melunaknya kembali tekstur daging bukan diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin, akan tetapi akibat penurunan pH. Pada kondisi pH yang rendah (turun) enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garisgaris gelap Z pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara
serabut-serabut otot. Enzim katepsin yang bersifat proteolitik, juga melonggarkan struktur protein serat otot .
prerigor. Hal ini disebabkan pada fase ini hampir 50% protein-protein daging yang larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al, 1975). Karakteristik ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya. Mengingat pada sistem emulsi
dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk berperan sebagai emulsifier. Tahap selanjutnya yang dikenal sebagai tahap rigor mortis. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur
pada daging. Jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami crosslinking. Kekakuan yang terjadi juga dipicu terhentinya respirasi sehingga terjadi perubahan dalam struktur jaringan otot hewan, serta menurunnya jumlah adenosine triphosphat (ATP) dan keratin phosphat sebagai penghasil energy (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Jika penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan
kelenturan otot. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energy yang dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi reticulum sarkoplasma sebagai pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca di sekitar miofilamen serendah mungkin. Akibatnya, terjadi pembebasan ionion Ca yang kemudian berikatan dengan protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin). Proses ini ditandai dengan terjadinya pengerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari 0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna. Daging menjadi keras dan kaku. Keadaan rigor mortis yang menyebabkan karakteristik daging alot dan keras memerlukan waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk kembali.
Melunaknya kembali tekstur daging menandakan dimulainya fase post rigor atau pascarigor. Melunaknya kembali tekstur daging bukan diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin, akan tetapi akibat penurunan pH. Pada kondisi pH yang rendah (turun) enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garisgaris gelap Z pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara
serabut-serabut otot. Enzim katepsin yang bersifat proteolitik, juga melonggarkan struktur protein serat otot .
3. a pakan
Status nutrisi
bisa jadi merupakan faktor lingkungan yang terpenting yang mempengaruhi
komposisi karkas dan daging. Ternak
yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan energi tinggi akan meningkatkan kadar
lemak tubuhnya. Ternak-ternak yang digembalakan di pasture dengan dominan spesies
legum akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak tubuhnya lebih besar
daripada yang digembalakan pada pasture dengan spesies rerumputan (Soeparno,
1998)
b. Jenis
kelamin:
Jenis
kelamin sangat berpengaruh terhadap performa produksi ternak. Hal ini
disebabkan oleh adanya pengaruh terhadap tenunan tubuh yang sekaligus mempengaruhi
pertumbuhan maupun persentase karkas ternak. Menurut Turner dan Bagnara (1976)
bahwa perbedaan
pertambahan
bobot badan dan persentase karkas berdasarkan jenis kelamin dipengaruhi
oleh
hormon. Hormon tersebut adalah somatotropin (STH, GH) yang memiliki aktivitas
utama dalam pertumbuhan tulang, pertumbuhan otot, merangsang sintesa protein
dan berpengaruh terhadap metabolisme lipida; triodothyopina (thyroxin)
meningkatkan laju metabolik dalam tubuh; glikogen meningkatkan glukosa darah,
stimulasi katabolisme protein dan lemak; androgen untuk meningkatkan perilaku
kelamin jantan; estrogen berpengaruh terhadap perilaku jenis kelamin betina;
glukokortikoid dapat menstimulasi sintesa karbohidrat, pemecahan protein
laktogen, menstimulasi aktivitas hormon pertumbuhan dari hipofisa dan prolatin.
Turner, C.D. and J.T. Bagnara, 1976. General
Endocrinology. Sixth Editon. W.B. Sauders Company.Philadelphia. P. 28 : 561
– 597.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar